The Look

3.2K 367 152
                                    

Mata kuliah pertama Lila untuk semester ini jatuh pada hari Rabu. Dengan jumlah mata kuliah yang sedikit, ia memadatkan jadwal kuliahnya menjadi hanya hari Rabu, Kamis, dan Jumat. Selebihnya adalah libur panjang.

Setelah turun dengan hati-hati dari kursi penumpang di atas motor, Lila mengucapkan terima kasih kepada abang ojek. Sebelumnya ia protes waktu abang itu hendak turun terlebih dahulu untuk membantunya turun. "Saya bisa sendiri, Bang." ujarnya, membuat abang ojek menoleh khawatir selagi berdiri menahan setang motor. "Hati-hati, Mbak." Lila tersenyum mendengar ungkapan tulus tersebut.

Lila berhenti sejenak, memandang bangunan kampus yang sudah satu tahun belakangan ini ia tinggalkan. Masih sama. Tidak banyak yang berubah kecuali cat putih gading yang lebih mengkilap. Pohon-pohon, kantin, sekretariat, dan payung teduh tempat mahasiswa nongkrong dan belajar, masih berdiri tegak pada tempatnya.

Melihat jam di pergelangan tangan kanannya, Lila melangkah cepat dan tertatih. Tanpa mempedulikan tatapan orang-orang, ia berusaha untuk tiba di kelas tepat waktu. Dua kali bertemu wajah familiar, Lila hanya bisa menampilkan lekukan senyum di wajahnya. Mereka tampak ingin berbicara pada Lila namun ia harus cepat-cepat ke kelas. Jadi Lila mencoba memberikan petunjuk pada masing-masing temannya itu melalui gestur, kalau ia sedang terburu-buru, sehingga belum bisa berbasa-basi. Sebenarnya ia hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian seandainya ia telat. Sudah cukup mata-mata itu mengerubunginya karena cara berjalannya yang menyedihkan dan harus ditopang tongkat.

Tiba di gedung utama perkuliahan, Lila mengelap keringatnya. Beruntung di kelas kali ini ia tidak perlu menaiki tangga, jadi ia tidak harus berpapasan dengan orang-orang lebih banyak lagi. Sampai di depan pintu luar kelas, Lila bersyukur karena sang dosen ternyata belum hadir. Namun, sebelum ia bisa bernafas lega, mahasiswa-mahasiswi yang tadinya berisik dengan obrolan mereka satu sama lain, tiba-tiba menjadi diam. Suasana hening seketika. Hampir 2/3 kursi di ruangan ini penuh, dan seluruh mata penghuninya kini terpaku kepada Lila seorang--sebelum mereka kembali pada ocehan masing-masing. Lila tentu saja risih namun pura-pura tidak peduli. Ia mengambil duduk di kursi belakang. Tidak paling belakang sebab kursi-kursi tersebut telah diisi oleh satu kelompok orang yang tidak ia kenal. Barangkali mahasiswa/i satu tingkat di bawahnya.

Yah, tentu saja. Bukankah ia sudah satu tahun tidak berkuliah? Jadi wajar lah jika orang-orang yang berada di kelas ini hampir semuanya tidak ia kenal.

Cukup lama Lila termenung memandang jendela saat tangan seseorang menyentuh pundaknya. "Pulang, Kak. Kuliahnya dibatalin." Seorang perempuan berbaju merah berujar dan tersenyum ramah kepadanya. Di sekitar perempuan itu, tiga orang lainnya turut tersenyum, dan salah satunya menambahkan. "Barusan dapat SMS Akademik, Mbak. Mbak dapet SMS nggak?"

Spontan Lila menyambar ponselnya dan memeriksa kotak masuk. Nihil. Ia menggeleng. "Makasih btw." Ia tersenyum pada mereka, mencoba mengakhiri percakapan ini. Bukan berniat tidak sopan, hanya saja Lila bingung harus bersikap bagaimana lagi.

Namun, empat orang yang terdiri dari dua perempuan dan dua laki-laki itu masih setia berdiri menatapnya yang masih duduk. Lila tersadar. Semua orang di ruangan ini sudah pergi kecuali mereka berempat dan dirinya. Ia pun bangkit dan segera mengulurkan tangannya kepada mereka, satu per satu, memperkenalkan diri. "Lila." Ia melafalkan namanya yang sederhana.

Sebelum mereka menyebut nama masing-masing, yang dibarengi tawa nyaring, Lila ragu jika dirinya telah mendengar salah satu dari mereka--perempuan berbaju merah yang menyentuh pundaknya--berkata, "Udah tau."

Begitu pelan, sampai-sampai ia merasa harus memastikan, "Tadi ngomong apa?"

"Udah tau, Mbak." Akhirnya perempuan yang satunya lagi mengulangi perkataan temannya dengan cukup keras. "Dah yuk, kantin dulu!" lanjutnya mengingatkan tiga temannya.

Mereka pun berjalan meninggalkan Lila yang menatap heran dari belakang.

Udah tau? Maksudnya?

*

Lila memutuskan untuk tetap tinggal di ruang kelas ini sampai mata kuliah berikutnya, di ruangan lain, dua jam lagi. Ia merasa lebih aman sendiri dibandingkan harus berpapasan dengan banyak orang, baik itu yang tidak ia kenal maupun yang ia kenal.

Perasaan keterasingan ini, lagi-lagi menggerayanginya. Lila jadi teringat saat dulu, tiga tahun lalu, ia masih menjadi mahasiswa baru di kampusnya. Persis, perasaan keterasingan seperti itu yang ia rasakan sekarang.

Lila tertunduk di atas meja sembari memijati lehernya yang pegal. Tanpa kendalinya, bayangan itu tiba-tiba menyelinap masuk di ingatannya. Jelas, nyata, dan begitu terang, membuat kedua mata Lila terasa silau meskipun ia sedang memejamkan mereka.

Talia dan punggungnya;
Talia dan keindahan yang dia pancarkan;
Talia dan kerapuhannya;
Talia dan kekuatannya;
Talia dan segala hal yang ada padanya, yang pernah membuat Lila terotak begitu dalam--melenakan sekaligus melelahkan.

Lila menekan pijatannya semakin kuat dan bertenaga. Rasanya pegal sekali. Mungkin ini efek samping ia yang salah posisi tidur tadi malam. Lila mengerang menahan nyeri.

Di dalam ruangan kosong begini, di antara suhu yang dingin dan suasana tenang yang mendukung, Lila jadi mengantuk dan ingin tidur. Biarlah nanti suara orang-orang yang memasuki kelas yang akan membangunkannya dan membuatnya kerepotan untuk berpindah ke kelasnya yang berikutnya di lantai atas. Biarlah kalau nanti ia harus telat dan jadi pusat perhatian. Biarlah.

Ia tidak mau lagi ambil pusing atas pandangan kasihan orang-orang terhadapnya. Itu urusan mereka.

Untuk sekarang ia hanya ingin tidur dan hanyut di dalam mimpi.

Dan pada akhirnya Lila pun terlelap meski tanpa dihiasi mimpi.

*

Setengah jam sesudah Lila memejamkan mata, seseorang hadir di dalam ruangan ini. Berjalan dengan langkah yang pelan dan hati-hati, dia duduk di depan Lila dan melihat punggungnya yang ringkih dengan sendu. Dia ingin mengusap lembut kepala Lila, namun terlalu takut membuatnya terbangun. Jadi dia hanya mampu memandang perempuan yang sedang tertidur nyenyak itu dalam diam.

Saat masuk tadi, pintu kelas sudah dia tutup. Menjadikan ruangan ini semakin terasa tenang, kalau tidak bisa dikatakan sunyi. Hanya suara dengung AC yang menyertai mereka. Memandang rambut Lila yang masih pendek, dia tergelak pelan. Bukankah dalam satu tahun rambut seseorang bisa tumbuh paling tidak lima belas sentimeter? Mengapa Lila malah tetap membuat rambutnya terpelihara pendek? Dia bertanya-tanya dalam hati. Walau begitu dia merasa Lila justru semakin cantik dan menarik dengan rambutnya yang sekarang. Tampan pula. Tidak heran jika dari tadi orang-orang begitu takjub memandanginya.

Ya, dia sudah melihat Lila sejak perempuan itu pertama kali menginjakkan kaki di lingkungan kampus ini. Mengawasinya dengan sabar karena tahu kalau tadi Lila sedang terburu-buru menuju kelas. Dia menahan diri untuk menunggu momen yang tepat. Apakah sekarang momen yang tepat?

Lima belas menit yang lalu, saat di kantin, dia mendengar obrolan beberapa mahasiswa. Awalnya dia tidak tertarik. Namun karena mereka mulai menyinggung nama "Lila", dia pun jadi menajamkan pendengaran. Mereka bercerita tentang Lila dengan berbagai macam ekspresi.

Sebelum telinganya semakin panas mendengar cerita tersebut, dia akhirnya menghampiri meja mereka. Menanyakan kepada siapa pun di antara mereka di kelas mana Lila berada. Salah satunya kemudian menjawab dengan terbata-bata.

Dan di sinilah dia sekarang, menyaksikan Lila tertidur pulas.

BANG!

Sekonyong-konyong suara pintu dibanting membuatnya kaget. Berdiri dan mengumpat, dia berjalan ke arah pintu untuk menutupnya kembali. Betapa menjengkelkan.

Lalu, ketika dia membalikkan badan, di depannya Lila sudah terbangun di balik meja. Terperanjat melihatnya.

"Talia . . . "

Love is wanting to be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang