Can I be Close to You?

5.1K 415 59
                                    

Di atas motor mereka terdiam. Tak lagi melanjutkan obrolan yang terjadi di luar musholla pom bensin. Angin malam membuat keduanya terlalu enggan untuk berbicara. Kedinginan. Terutama Lila yang duduk di depan membawa motor, merasakan ngilu hingga ke tulang-tulangnya. Seandainya dipeluk seperti tadi, mungkin kehangatan yang menjalar dari dalam tubuhnya akan membuatnya damai. Tapi tentu saja itu bohong, pasti detak jantungnya akan mengajak ribut dan mukanya merah kepanasan. Seperti tadi. Masih terbayang di benaknya.

Di belakang Talia termenung menatap alun-alun Wonosari yang ramai.

Beberapa lama kemudian mereka pun sampai di tujuan. Sebelumnya mereka sepakat untuk mencari angkringan yang sepi, tak terlalu gaduh. Angkringan yang menjajakan nasi kucing dan beraneka ragam gorengan serta minuman. Lila memesan susu jahe-bandrek kalau kata anak Medan-dan menghabiskan tiga nasi kucing dengan lauk ikan teri dan sambal terasi, sedangkan Talia satu bungkus lebih banyak dan hanya meminum air putih. Mereka lapar berat. Terakhir makan sebelum berangkat, pukul 13:20, kurang lebih lima jam yang lalu. Kalau dihitung-hitung, mereka jauh lebih banyak melewatkan waktu dengan duduk di atas motor dibanding berjalan atau berdiri. Dan ini membuat bokong Lila pegal dan nyeri. Maka setelah meneguk sampai ludes bandreknya, ia berdiri melakukan stretching di tangan, kaki lalu menggerakkan sedikit bagian belakang tubuhnya. Berulang kali. Melihat itu Talia tergelak. Dia berdiri.

Malam yang dingin ditambah kenyangnya perut mendorong Talia untuk melakukan ritual kecilnya. Merogoh tasnya, dia mengangkat sekotak rokok. Setelah sebatang menempel di bibir mungil merah jambunya, dia memantikkan api ke sudutnya. Dia mulai menghisap, menahan sejenak kepulan asap di mulutnya untuk merasakan sensasi kenikmatan, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Perasaan lega meliputinya.

Masih dalam keadaan stretching-kali ini supraspinatus stretch, Lila melihatnya dalam diam.

"Kalo aja gue ga trauma bawa motor, mungkin kita bisa tukeran posisi, Lil." Ungkap Talia memecah keheningan.

Lila menghentikan pergerakannya dan berkata sambil tersenyum mengejek, "Udah pake 'kalo', tambah 'mungkin' pula. Parah."

Talia menaikkan alis kirinya-seperti yang sudah jadi ciri khasnya-dan membalas, "Yang penting niatnya, neng." Dia mendekati Lila dan mencubit pinggangnya. Lila mencoba mengelak namun terlambat.

"Ga usah dekat-dekat, lo bauk." Lila menutup hidungnya dan melangkah mundur, pura-pura jijik. Walau asap memang tak pernah bersahabat dengannya.

"Gue? Bauk? Coba lo cium ketiak lo, neng!" Dengan terkekeh Talia menyundutkan pucuk rokoknya yang sudah pendek ke asbak.

"Ketek gue wangi melati. Enak aja!" Lila mendengus. "Dan apaan sih lu dari tadi neng-nang-neng, gue kagak boneng!" Ucap Lila ngawur dan memamerkan jajaran gigi atasnya yang rapi.

"Hih, garing lu! Dan apaan? Melati? Kayak mbak kunti aja!" Kali ini cubitan Talia dua kali lebih kencang dari sebelumnya. Dia tertawa puas melihat Lila meringis menahan perih.

"Talia jahat! Enceng, ah!" Lila mengusap-usap pinggangnya dan berlagak ngambek. Tapi beneran sakit, suer.

Talia semakin kegirangan. Tiba-tiba dia menari pelan. Sebentar saja.

Angkringan sepi hanya dihuni bapak penjaja angkringan dan mereka berdua. Makanya mereka tidak malu-malu bertingkah norak dan kekanak-kanakan di hadapan bapak penjaja yang hanya tersenyum lebar sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya menonton itu semua.

Peristiwa penuh air mata yang sudah-sudah seakan tidak pernah ada.

"Iye, enceng deh. Mana yang atit?" Selidik Talia sok serius. "Cini, cini, aku elus-elus. Uuuu uuu u." Talia bermimik ala bocah cilik sambil memayunkan bibirnya. Dielusnya pinggang kiri Lila-yang terkena cubitan dan masih dibalut hoodie-yang masih Lila usap sendiri sedari tadi. Ketika tangan mereka bersentuhan, Lila reflek menepis tangan Talia. Alasannya ia masih ngambek. Padahal ia mendadak kaget karena nervous saja, merasakan sengatan ajaib di seluruh tubuhnya akibat pertemuan telapak tangan yang halus itu di punggung tangannya. Bulu kuduknya berdiri.

Love is wanting to be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang