Sebelumnya--sekadar pemberitahuan--jangan lupa baca tulisan saya yang lain ya. Gomawo.
** * **
"At the end of the day,
who else you can rely on
but yourself?"Di ruangan bertembok serba putih inilah Lila terbaring dan terlelap dengan begitu nyenyak. Ia belum siuman semenjak kejadian tiga hari lalu, semenjak dirinya dibawa ke unit gawat darurat untuk menjalani operasi sehabis melewati prosedur yang cukup berbelit dan menguras emosi.
*
Yang dihubungi pertama kali oleh pihak kepolisian kala itu adalah Atik, mengingat dia sebagai kontak terakhir yang berhubungan dengan Lila. Tangisnya pecah waktu mendengar kabar tentang temannya itu. Dan tidak berhenti di situ, sesampainya di rumah sakit yang diberitahukan kepadanya Atik masih harus berurusan dengan pihak administrasi rumah sakit, yang membuatnya tambah gusar. Maka dalam ketidakstabilan emosinya, dia pun menghubungi orang tua Lila; menjelaskan kepada mereka terkait kondisi anaknya yang baru saja mengalami kecelakaan, dengan tutur katanya yang berantakan akibat perasaannya yang campur aduk. Atik juga menjelaskan tentang diperlukannya persetujuan dari orang tua Lila agar pihak rumah sakit dapat lekas menindaklanjuti anaknya dengan operasi. Segera.
Sungguh menguras emosi dan tenaganya karena belum selesai dengan kesedihannya sendiri, Atik masih saja diminta oleh pihak rumah sakit agar persetujuan itu dibubuhkan di atas kertas dan ditandatangani oleh mereka yang berwenang--orang tua Lila. Dia mengamuk, tentu saja, berteriak lantang kepada semua staf administrasi di rumah sakit tersebut dan mengatakan bahwa satu nyawa sedang dipertaruhkan detik ini, mengapa mereka tega lebih mementingkan berkas daripada keselamatan seseorang yang sedang sekarat. Sehingga dengan tindakannya yang menuai perhatian khalayak penghuni rumah sakit, pihak rumah sakit pun akhirnya setuju untuk melakukan tindakan operasi terhadap temannya itu. Meski hanya berbekal persetujuan via telepon kedua orang tua Lila, dan tanda tangannya sendiri sebagai wakil 'keluarga'.
Baru sebentar dia mendudukkan diri di bangku ruang tunggu, Atik mengangkat ponsel pintarnya kembali. Baru saja dia bisa bernafas lega, kini kecemasan menghantui dirinya. Tapi dia harus lekas memberitahu kedua temannya yang lain; Joni dan Talia. Mereka berhak tahu. Maka ketika amarahnya mereda dan perasaannya mulai stabil, Atik pun pertama-tama menghubungi Joni. Tidak lama lelaki itu menjawabnya dan tanpa banyak dialog Joni mengakhiri telepon mereka. Atik tahu jika laki-laki itu pasti langsung melesat menuju rumah sakit. Panggilan berikutnya: Talia. Tidak ada jawaban. Atik meneleponnya lagi. Hingga kali kesebelas dia mencoba dan missed calls, Joni sekarang sudah berdiri di hadapannya. Tidak lagi memedulikan ponsel di genggaman tangannya, Atik menghambur memeluk Joni. Sekali lagi, tangisnya memecah di dalam dekapan tubuh lelaki kerempeng itu. Sama halnya dengan Joni, yang tidak mampu menahan isakannya sendiri. Saat ini, dia tidak cukup macho untuk menyembunyikan perasaannya itu. Mereka teramat khawatir. Dan meleburlah tangis mereka di antara keheningan yang tercipta oleh sisa pengunjung rumah sakit yang sama-sama sedang berduka. Betapa peristiwa malam itu, mengguncang seluruh sel dan persendian di tubuh keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is wanting to be Loved
RomanceCerita biasa tentang perempuan yang menyimpan rasa mendalam kepada sesama perempuan. * * * Love is real, real is love Love is feeling, feeling love Love is wanting to be loved Love is touch, touch is love Love is reaching, reaching love Love is aski...