Honesty

3.6K 339 28
                                    

"Sejujurnya, gue masih suka merasa bersalah tiap ingat yang dulu-dulu..."

Lila tersenyum, "Udahlah, yang lalu ga usah diingat-ingat lagi, Tik."

Atik menggeleng, "Enggak, Lil. Gue keterlaluan. Serius, gue bener-bener merasa bersalah dengan apa yang gue katakan dulu sama lo. Dan maaf karena gue baru berani minta maaf sekarang."

"Gue tau tanpa--"

"Enggak! Lo nggak tau betapa menyesalnya gue setelah kejadian itu, Lil. Gue kesel banget sama diri gue. Tapi gue lebih kesel lagi kenapa gue baru minta maaf sekarang?!" ujar Atik penuh amarah.

Lila menghela napas. Mana dirinya tahu alasan temannya itu baru menyatakan permintaan maafnya sekarang. Lagi pula Lila paham Atik menyesal sejak perempuan itu datang ke rumahnya di Medan bersama Joni enam bulan silam, saat liburan semester. Meskipun semua itu tersirat dari sorot mata dan perhatian berlebihnya kala itu. Seminggu di rumah Lila, mereka tidak pernah menyinggung hal semacam ini. Barangkali merasa terlalu sensitif untuk diperbincangkan.

"Gue pengecut. Kenapa nggak dari kemaren-kemaren gue minta maaf ke elo, ya?" ucap Atik lebih kepada dirinya sendiri.

"Iya, pengecut." tukas Lila pelan. Ia tak tahu mesti mengucapkan apa lagi selain membenarkan ucapan temannya tersebut--apa yang mungkin ingin Atik dengar. Biar tak usah berlarut-larut.

Walau begitu Atik tersentak. Dirinya semakin diselimuti perasaan bersalah. Raut wajahnya bertambah runyam dan kalut.

Melihat itu Lila lekas-lekas menghela panjang, berusaha merangkai kalimat dengan hati-hati agar tidak disalahpahami. "Gue bukan sedang menyalahkan lo atau memojokkan elo, Tik. Gue paham gimana posisi lo saat itu. Lo terlalu menyesal tapi lo bingung mencari cara yang tepat untuk menyampaikannya. Tanpa lo harus bilang, gue tau kok kalau elo menyesal. Gue udah lihat itu semenjak lo dan Joni ngunjungin gue ke rumah, dan kalian udah banyak membantu dan menghibur gue pada saat titik terendah dalam hidup gue. Itu udah lebih dari cukup buat gue."

"Ditambah sekarang, lo udah berani minta maaf. Dan gue udah maafin lo dari dulu. Jadi, tolong, jangan nunjukin mukak jelek lo lagi di depan gue, oke?" Lila terkekeh kecil sebelum meneruskan, "Lo itu sahabat gue, Tik. Ga semua harus diungkapkan supaya diketahui." ujar Lila hendak mengakhiri segala perdebatan untuk masalah yang lampau. Ia sungguh-sungguh sudah melupakan ucapan Atik terdahulu terkait perasaannya terhadap sesama wanita, khususnya Talia.

Untuk itu Atik memeluk Lila erat sambil merengek kecil di bahunya. Meski agak kaget, Lila menepuk-nepuk punggung Atik agar rengekan temannya itu mereda. Untung kafe yang mereka datangi ini tidak begitu ramai. Hanya beberapa pasang mata penasaran yang menoleh sambil lalu ke arah mereka.

"Ssshht, udah, udah, Tik. Ga malu lo diliatin orang-orang, apa lagi itu bocah?"

Melepaskan pelukannya, Atik lekas membalas sambil mengucek kedua matanya, "Mana bocah?" Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, namun tidak menemukan anak kecil di sekitar mereka.

Lila menunjuk lurus ke balik punggung Atik.

Menoleh, Atik mendapati Joni sedang bersedekap sambil tersenyum menggeleng-gelengkan kepala, sebelum akhirnya tawanya pecah di telinga Atik.

"HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAH, CENGENG WASYUUUUU--"

Terkejut, Atik bangkit dan hendak memukul Joni yang telah nyaris merusak gendang telinganya. Namun dengan bobot tubuhnya yang ringan, lelaki itu sigap menghindar. Kemudian Atik berlari mengejar Joni yang terus mengelak dan asyik tertawa ke arahnya di saat mata sembap Atik mulai melotot marah, seakan hendak menelan lelaki itu hidup-hidup.

Kini Lila menunduk menutup mukanya dengan telapak tangan, merasa malu dengan tingkah kedua temannya saat ini di tengah beberapa orang pengunjung. Ia hanya bisa menunggu sampai pengelola kafe menegur keduanya agar berhenti membuat kegaduhan.

Love is wanting to be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang