Ice Cream

3.7K 380 160
                                    

Dengan langkah yang lambat Talia menghampiri Lila, lalu menyapanya agak kikuk, "Hei.."

Yang disapa hanya diam mendongak menatap si penanya, yang kemudian mendudukkan diri pada kursi di depannya. Kini mereka duduk bersejajar, berhadap-hadapan.

Mata bertemu mata, bibir kelu menahan kata. Keduanya sama-sama menelan ludah dan diam sesaat, membiarkan kecanggungan meliputi mereka. Bunyi AC terdengar semakin nyaring mengisi ruangan yang terasa bertambah lengang.

Talia akhirnya merogoh sesuatu dari tas kecil yang dia bawa, yang sebelumnya dia gantungkan di punggung kursi, tanpa melepaskan kuncian matanya dari Lila. Dia kemudian mengeluarkan sebungkus roti keju dan sekaleng susu beruang dari dalam plastik putih. Meletakkannya di atas meja, dia berkata dengan hati-hati, "Untuk sarapan lo yang, tertunda..."

Lila hanya membalasnya dengan senyum tipis. Tidak ada ucapan terima kasih. Dan membiarkan makanan dan minuman itu tidak ia sentuh sama sekali. Ia melirik mereka tidak berselera.

Entah mendapat dorongan dari mana Talia malah mengangkat tangannya yang hendak menyentuh pipi Lila. Pipi yang tampak tirus itu--dengan tulang pipinya yang makin menonjol. Namun Lila refleks memundurkan kepalanya, tampak kaget dan tidak siap. Meski ia tidak bermaksud menghindar.

Tidak kalah kaget dengan respon barusan, Talia justru berbicara sewajar mungkin, "Makan, Lil. Gue tau lo nggak pernah kena maag dan sejenisnya. Tapi gue juga tau kalau lo bakal rentan terkena penyakit kalau lo nggak makan pagi."

Belum ada jawaban. Lila masih tidak berucap sepatah kata. Seakan tidak peduli.

"You know what they say," Talia masih berusaha, "that breakfast is--"

"the most important meal of the day." potong Lila cepat dan ketus. Tatapannya dingin. Ia lalu menolehkan kepalanya ke arah lain selain wajah perempuan di depannya.

Lalu tiba-tiba rasa nyeri di lehernya timbul kembali, Lila meringis pelan. Dan ia pun mengurutinya dengan tangannya sendiri.

Saat Talia menyondongkan badannya untuk meraih leher Lila, mencoba membantunya mengurangi nyeri itu, saat itu pula Lila segera mundur kembali. Melihatnya dengan tatapan tidak suka. Kali ini ia jelas-jelas menghindar.

"Gue bisa sendiri."

"Okay." Talia mengangkat kedua tangannya dengan raut seolah mengerti, sebagai reaksi atas sikap jaga jarak--atau bentuk pertahanan diri--Lila.

"How are you? How's life, Lil?" lanjutnya, mencoba mencairkan suasana yang masih beku.

"Ck. Hentikan, Tal." jawab Lila tanpa basa basi. "You don't care about my life, and clearly, you don't care about me." Lila tersenyum mengejek. Dari suaranya jelas terindikasi kalau ia benar-benar sakit hati.

Talia tersenyum, tidak merasa tersinggung sedikit pun, seakan tahu kalau respon semacam ini cepat atau lambat akan terlontar padanya. Berpikir sejenak, dia pun mengganti pertanyaan.

"Tadi mimpi indah..?" Entah apa yang ada di benak Talia menanyakan mimpi. Barangkali karena teringat Lila pernah bercerita kepadanya tentang mimpinya yang menyenangkan waktu ia tertidur pulas di dalam kelas. Dan kebetulan mereka sedang berada di dalam kelas. Meski tidak dalam kondisi penuh dan riweuh, sebaliknya, hanya berdua dan sunyi--meski memekakkan.

"Enggak." Setidaknya pertanyaan itu berhasil memancing suara Lila. "Bahkan mimpi pun nggak sudi menghampiri gue." jawabnya datar, tertuju pada perempuan di depannya dengan ekspresi hambar.

Talia menghela nafas. Kata-kata barusan pasti ditujukan lagi untuk menyindirnya. Dia sadar dan paham itu. Namun Talia tidak ingin memperpanjangnya. Dia hadir di sini hanya untuk menemui Lila; untuk menyerahkan sesuatu padanya. Lagipula, dia akan ada kelas sebentar lagi. Begitu pun Lila.

Love is wanting to be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang