Ocean Eyes

3.7K 395 105
                                    

Seusai mata kuliah terakhirnya di hari Jumat ini, Talia mengirim pesan pada Lila untuk menemuinya di salah satu café di kota. Tidak sampai 5 menit, dia segera menerima balasan bahwa Lila masih ada satu mata kuliah terakhir, 2 SKS. Lila memintanya untuk pergi ke sana bersama, tapi terlanjur, Talia sudah berada di café itu.

Café yang cukup luas dengan 3 lantai, bernuansa klasik—karena ornamen dindingnya yang feels old—dengan quotes bijak dari para filsuf yang sudah mati, namun tetap terkesan cozy dan kekinian. Tiap malam Minggu selalu ramai dengan live acoustic yang diisi oleh band maupun musisi lokal.

Tapi karena sekarang masih pukul 12 siang, di hari Jumat pula, hanya dirinya lah yang menjadi satu-satunya customer di lantai 2 café tersebut. Talia duduk di kursi empuk di pojokan yang cukup nyaman. Posisi yang bisa dibilang agak invisible.

Pesanan Talia berupa Latte macchiato telah hadir di mejanya. Seorang perempuan muda—kira-kira seumuran dengannya—yang mengantarkan. Setelah tersenyum ramah padanya, pelayan itu pun kembali ke dapur café

Talia menenggak seteguk minuman hangat itu. She needs caffeine right now. Ralat, dia butuh kopi setiap saat. Entah sejak kapan dia menjadi adiktif dengan minuman pahit itu. Barangkali, semenjak masa bahagianya di SMA berakhir? Entahlah, dia sudah lupa.

Walau permasalahan di kehidupannya terasa tidak ada habisnya, setidaknya dia bisa sedikit bernafas lega sekarang. Dia tidak begitu memikirkan mantannya itu lagi. Mantan yang telah memporak-porandakan hatinya selama hampir empat tahun belakangan ini; semenjak mereka berkenalan, berpacaran, putus-nyambung, hingga benar-benar putus. Satu masalah yang dulu sering mengganjal hatinya, kini telah pergi. Benar-benar pergi. Gone with the wind.

Dan bagaimana hal itu akhirnya mampu dia lewati?

** * **

Flashback

Saat itu di dalam kediamannya—setelah Egi mengetuk pintu rumahnya dan Lila sedang tertidur pulas di kamarnya—Talia belum siap dengan apa yang akan dia hadapi. Berdua saja dengan Egi di ruang tamu, hanya menimbulkan kecanggungan di antara mereka berdua yang sudah lama tidak berhubungan—satu tahun?

Tapi berjalannya waktu, obrolan mereka menjadi semakin cair. Mungkin itu karena Egi yang sudah menyisihkan egonya sebelum dia datang ke rumah Talia. Dia hanya ingin 'menjenguk'-nya.

Sebenarnya, sudah lama juga dia tidak mendendam atas perlakuan Talia terhadapnya dulu. Malah semakin hari, dia justru merasa bersalah telah membuat perempuan itu terpuruk begitu dalam atas penyesalannya sendiri. Bahkan Talia sudah minta maaf berkali-kali...

Sejak Egi melihat Talia sekitar enam bulan yang lalu di salah satu pantai di Jogja—dia tidak pernah menduga sebelumnya—dia merasakan sebuah ketakutan terpancar nyata dari mata perempuan itu. Ketika mereka cukup lama saling bertatapan dalam diam.

Lalu perempuan itu pergi dengan begitu mendadak bersama temannya, meninggalkan dirinya yang hanya diam mematung di tempat. Merasa menjadi pengecut tanpa berusaha mengejarnya. Tapi untuk apa?

Yang bisa Egi perbuat setelah itu adalah tidak melakukan apa-apa. Walaupun dirinya sudah memaafkan Talia, tapi sifat egoisnya menuntutnya untuk tetap pasif.

Namun sekarang keadaan sudah berubah. Talia berubah dan dirinya pun telah berubah. Egi ingin menjalin hubungan kembali dengan Talia. Bukan sebagai kekasih, cukup berteman saja.

Maka dari situ, obrolan mereka pun semakin lama semakin mengalir. Saling mengejar ketertinggalan atas keadaan masing-masing dengan melontarkan banyak pertanyaan semacam, "bagaimana kehidupan di kampus", "tempat wisata yang asik di mana", "gimana orang-orang di Jogja", "kok sekarang gondrong", "kok sekarang kurusan", "masih suka/benci ini/itu nggak", hingga ke pertanyaan personal seperti "siapa pacar kamu sekarang."

Love is wanting to be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang