Menggeser dedaunan yang menempel dengan tapak tangan masing-masing, Lila dan Talia akhirnya duduk di sebuah kursi kayu panjang yang di depannya terdapat meja yang menghadap langsung pada tepi pantai di bawah sana--melewati rerimbunan pohon dan jurang yang tak begitu dalam. Spot terbaik, mengingat belum ada saingan di sekitar mereka yang biasanya berburu singgasana tersebut. Tadi keduanya telah memesan pisang goreng dan dua jenis minuman pada seorang pramusaji muda di sudut kanan lokasi ini, sebuah kedai yang belum lama berdiri.
Tanpa menoleh Lila berkata, "Sekarang kita udah nyampe di sini, apa yang mau lo sampaikan, Tal." Sebuah pertanyaan tanpa tanda tanya, yang sebenarnya lebih menuntut jawaban sekalipun diajukan dengan datar.
Maka, lawan bicaranya pun hanya mengalihkan, "Makin asyik ya tempatnya sekarang, makin terawat." Talia berkomentar memerhatikan sekeliling sambil menghirup udara panjang, lalu mengembuskannya lega. Guratan senyum tidak absen dari wajahnya.
"Bukannya lo belum lama itu ke sini, ya? Emang waktu itu belum ada beginian?" Teringat pada apa yang mereka bicarakan di kantin kampus beberapa jam lalu, Lila menanggapi, lalu mengarahkan telunjuknya pada kedai. Ia sendiri tidak begitu ingin mengomentari suasana baru di tempat ini. Meskipun perubahannya memang tampak drastis. Ia lebih penasaran pada apa yang membuat Talia mesti mengajaknya ke sini untuk sekadar berbicara. Padahal mereka bisa berbicara di mana saja, tidak perlu jauh-jauh sampai ke selatan Yogyakarta.
Talia mengangguk dan berkata ringan, "Bener kan gue bilang, nggak panas-panas banget." Mengingat mereka tiba di tempat ini saat waktu baru menunjukkan pukul 3 kurang 20 menit. Dan sekarang masih pukul 3.
Lila membuang nafas kasar dan mencubit dahinya sejenak, pusing mendengarkan hal yang bertele-tele sedari tadi. Dari tadi Talia hanya mengatakan hal-hal yang tidak ingin ia dengar. Perempuan itu tidak menjawabnya sama sekali. Maka, ia ulangi maksudnya.
"Let's talk, ok? What's in your head, Tal? Apa yang sebenarnya ingin lo sampaikan ke gue? Kenapa mesti di sini?" Lila melemparkan pertanyaan bertubi-tubi. Tapi Talia lagi-lagi mengulur waktu.
"Nikmati pemandangannya dulu, oke?" Talia menoleh ke jam tangan digital yang dikenakan Lila, menyentuhnya. "Give us ten minutes, please?" Matanya mengunci mata Lila, tampak serius dengan perkataannya. Lila pun terpaksa mengiyakan.
"Ok, sepuluh menit dari sekarang." Menarik tangannya untuk melihat jam, Lila pun memberi penegasan. Ia membalas tatapan Talia dengan sorot tajam, mengisyaratkan bahwa dirinya akan bersikap tegas apabila perempuan itu hendak mengulur waktu lagi. Lalu tanpa kesepakatan--serempak--keduanya memutus mata rantai itu. Barangkali jenuh atau lelah tenggelam dalam pusaran mata satu sama lain.
Selama sepuluh menit itu mereka lebih sering diam memandangi dan menyerap alunan tenang--nyaris bisu--ombak di bawah dan desir angin di sekitar. Di sekitar mereka masih belum ada siapa-siapa, hanya mereka berdua dan penjaga kedai yang sangat santai mengerjakan tugasnya. Biasanya menjelang petang baru akan muncul pemuda-pemudi--sepasang kekasih atau bergerombol--yang hendak memadu kasih atau menikmati suasana alam yang syahdu disertai suguhan makanan ringan dan beraneka ragam minuman, atau mereka yang sekadar ingin berfoto-foto. Tidak jarang, jika sudah musimnya, akan ada sekelompok orang profesional yang siap melakukan aksi paralayang di atas landasan, tidak jauh dari tempat mereka duduk saat ini. Bahkan orang biasa pun bisa ikut bermain dan "terbang", asalkan punya uang dan dikawal oleh mereka yang sudah tersertifikasi. Sangat menegangkan dan menyenangkan melihat balon udara raksasa di atas itu tidak berjarak begitu jauh dari para penonton. Sayangnya, musim itu telah lewat.
Pada menit keempat, seorang mas-mas akhirnya membawa makanan dan minuman pesanan mereka di atas sebuah nampan. Meletakkan satu per satu di atas meja dengan hati-hati: piring berisi enam pisang goreng, es jeruk, dan batok es kelapa muda yang di dalamnya sudah disediakan dua sedotan--padahal mereka tidak memintanya. Usai melaksanakan tugasnya, mas-mas itu pergi tanpa mereka mengucapkan sepatah kata. Hanya membalas jasanya dengan senyuman dan masih setia dalam diam. Sisa lima menit lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is wanting to be Loved
RomantikCerita biasa tentang perempuan yang menyimpan rasa mendalam kepada sesama perempuan. * * * Love is real, real is love Love is feeling, feeling love Love is wanting to be loved Love is touch, touch is love Love is reaching, reaching love Love is aski...