[1] Michelle's World

34.4K 840 10
                                    

Michelle Eireen Lee—siapa yang tidak mengetahui wanita itu? Wajahnya ada dimana-mana, selalu menjadi sampul dari banyak majalah. Wanita berparas cantik itu tengah naik daun di dunia modeling yang sedang ia tekuni. Ia juga termasuk dalam 25 Wanita Muda Paling Berpengaruh untuk bidang fashion di Indonesia. Selain menjadi model, Michelle juga menyandang titel S.Ars. di belakang namanya. Ya, dia merupakan seorang sarjana arsitektur yang lulus dengan IPK 3.76—cumlaude. Perfect!

Michelle juga berasal dari keluarga berada, bahkan termasuk golongan menengah ke atas. Hidupnya selalu dilimpahi rezeki yang berlimpah dan dia selalu bersyukur atas hidupnya itu. Ayahnya merupakan pemegang saham terbesar dari PT Indonesia Katulistiwa—salah satu perusahaan besar yang ada di Indonesia, ibunya dulu menjadi perawat di suatu rumah sakit di Jakarta, dan Michelle memiliki kakak angkat—bernama Reno—yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan keluarganya itu. Keluarganya adalah keluarga yang hangat, yang selalu ada untuk dirinya.

Michelle wanita yang suka sekali kebebasan. Ia tidak ingin hidupnya itu dikekang, terutama oleh laki-laki. Selama 24 tahun ia hidup, ia belum pernah sekalipun berpacaran. Kenapa? Karena itu hanya membuang waktunya, yang seharusnya bisa ia manfaatkan untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat. Bukan berarti ia anti dengan laki-laki, ia justru banyak memiliki teman laki-laki yang sangat dekat dengannya, namun jika ditanya untuk berpindah ke hubungan yang lebih serius ia memilih untuk melenggang. Ia hanya melakukan apa yang ia ingin lakukan dan ia ingin menjadi apa yang ia inginkan. Michelle bukan anak manja dan tidak pernah dimanjakan, ia selalu diajarkan untuk mandiri serta disiplin. Ia juga percaya jika kerja keras akan membuahkan hasil yang sebanding.

"Yup! Well done, honey!" Ucap Hanum—tata rias sekaligus sahabat SMA-nya itu.

"Thank you, Hanum." Michelle tersenyum yang langsung menunjukkan lesung pipinya.

"Lo mau langsung balik?"

Michelle menggeleng. "Enggak. Makan, yuk! Gue yang traktir."

Mata Hanum langsung berbinar bak anak kucing yang hendak diberi makan. Dua orang itu akhirnya pergi dari lokasi pemotretan Michelle, setelah membereskan barang-barang mereka, dan pergi ke sebuah cafe yang enggak jauh dari sana. Cafe cozy dan cocok untuk menghilangkan penat setelah bekerja seharian.

"Jadi kapan lo mau nikah sama Bima?" Tanya Michelle setelah memesan makan untuk mereka berdua. Hanum cuma mengedikkan bahu.

"Hanum, kalian itu udah pacaran tujuh tahun!" Papar Michelle dengan penekanan di setiap katanya. "Sampai kapan lo mau gini-gini aja?"

"C'mon, speak for yourself!" Sela Hanum yang cuma membuat Michelle memutarkan bola matanya.

"Gue emang enggak berniat buat nikah cepat dan gue enggak lagi berhubungan sama siapapun, beda sama lo dan Bima." Jelas Michelle.

"Nih, ya, daripada lo ngomongin soal gue sama Bima, mending lo cepetan cari jodoh deh! Gue masih mending ada Bima. Tau-tau lo jadi perawan tua gimana?"

"Kampret lo! Jodoh udah ada yang ngatur kali. Nanti juga datang sendiri." Jawab Michelle santai.

"Gue do'ain supaya orang tua lo ngejodohin lo. Biar lo enggak jomblo melulu."

Kata-kata macam itu emang sering Michelle dapat dari orang-orang disekitarnya. Bayangkan, 24 tahun dia hidup dia belum pernah sekalipun merasakan yang namanya pacaran! Sampai-sampai Michelle dibilang udah enggak suka sama laki-laki, alias lesbi. But she doesn't care. Dia mencintai hidupnya yang seperti ini. Berbeda bukan berarti salah. Ia berhak menentukan keinginannya.

Lagipula, dari sekian banyak laki-laki yang mendekatinya, rata-rata dari mereka cuma karena ingin mendapatkan Michelle layaknya piala bergilir. Mereka ingin melakukan 'itu' lalu meninggalkannya ketika sudah bosan. Ia benci laki-laki yang mendekatinya hanya karena nafsu, bukan cinta. Ia akan langsung mencampakkan laki-laki macam itu dan tidak menggubrisnya hingga orang itu menyerah sendiri. Michelle sangat menyanyangi dirinya sendiri dan berpegang teguh tidak akan melakukan sesuatu, seperti sex bebas, di luar nikah. Ia hanya ingin melakukannya dengan laki-laki yang ia cintai dan mencintai dia. Lelaki yang memang pantas mendapatkannya. Sampai laki-laki itu datang, ia akan menjaga baik-baik mahkotanya.

***

Michelle baru keluar kamar mandi dengan handuk kimono berwarna putih yang ia sampirkan di tubuhnya. Air sedikit mengucur dari rambutnya yang setengah basah sehingga meninggalkan jejak kemana ia pergi.

Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya dan Michelle berencana untuk membuat coklat panas untuk sekedar menghangatkan tubuhnya. Diambilnya mug dari rak penyimpanan dan ia tuangkan coklat panas  ke dalamnya. Setelah selesai, Michelle membawa coklat panas yang masih mengepul itu ke beranda kamar apartemennya. Angin terasa menusuk bagian kulitnya yang terbuka, namun ia menahan itu untuk bisa melihat indahnya malam Jakarta yang bergelimangan cahaya. Indah meski menutupi cahaya bintang di langit malam ini.

Semenjak keputusannya untuk serius kepada profesinya saat ini, Michelle lebih memilih untuk tinggal di apartemen sehingga ia bebas pergi dan pulang tanpa mengganggu penghuni rumahnya. Ia juga membutuhkan sedikit privasi dengan semakin bertambahnya usia. Ayahnya langsung membelikan satu unit apartemen mewah yang berada di tengah Jakarta, yang harganya sebanding dengan fasilitasnya. Pemandangan indah ini salah satunya.

Tinggal sendiri bukan berarti ia jarang menghubungi keluarganya. Bahkan ia terlampau sering menelepon orang tuanya itu hanya sekedar untuk mengatakan sesuatu yang tidak penting. Juga Reno, meski ia kakak angkatnya, Michelle selalu menganggap Reno seperti kakak kandungnya. Tidak pernah ia bedakan sedikitpun. Sebenarnya Michelle adalah anak tunggal, namun ketika ia berumur lima tahun, ayahnya memutuskan mengadopsi Reno yang adalah anak dari tantenya yang meninggal karena kecelakan. Ya, Reno adalah sepupu Michelle. Karena Michelle memang tidak tertarik untuk meneruskan bisnis ayahnya, maka Reno lah yang dijadikan penerus dari perusahan keluarganya itu. Michelle tidak pernah dipaksa untuk meneruskan jejak ayahnya.

Mug yang ia pegang telah kosong. Tak terasa langit semakin menggelap dan makin tidak bersahabat dengannya. Udara semakin dingin dan menusuk sampai ke tulang. Michelle memutuskan untuk menyudahi kegiatannya melihat pemandangan malam Jakarta dan memilih untuk kembali masuk ke apartemen. Udara malam tidak terlalu baik untuk tubuh, apalagi ia dalam keadaan baru saja mandi.

Ketika ia hendak memeriksa jadwal untuk esok hari, hp Michelle bergetar dan menampilkan nama Reno di layarnya. Segera ia menerima panggilan masuk itu.

"Ya, Mas Reno, ada apa?" Tanya Michelle tanpa basa-basi.

"Dek kosongin jadwal hari minggu kamu dua minggu mendatang, ya. Kita mau ke New York."

"New York? Ngapain?"

"Teman kerja papah ngadain ulang tahun perusahaannya, katanya sekalian pengangkatan anak mereka jadi CEO baru. Kita sekeluarga disuruh hadir sama papah."

Michelle menghela nafas pelan. "Kayaknya adek ada jadwal deh, Mas. Harus hadir banget?"

"Iya. Mas juga males sebenarnya, tapi mau gimana lagi."

"Nanti Michelle konfirmasi dulu."

"Yaudah, nanti kabarin lagi, ya!"

"Iya."

Michelle mendengus kesal karena—entah untuk yang ke berapa kali—dia harus mengganti jadwalnya. Bukan sulit, lebih tepatnya ia tidak enak hati dengan rekan kerjanya yang lain. Kadang kalau jadwal itu tidak bisa digeser, terpaksa ia harus diganti dengan model yang lain. She hates it! Namun apa daya, ia lebih mencintai ayahnya ketimbang karirnya sendiri. Ia pasti akan mengedepankan keinginan ayahnya.

Dua minggu lagi, di hari itu, dimana Michelle serasa mendapatkan kutukan dalam hidupnya. Hari dimana hidupnya harus terikat dengan seseorang yang bahkan wajahnya tidak pernah ia lihat. Hari dimana siksaannya dimulai.[]

He Wants MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang