[27] I Like You

7.8K 368 22
                                    

Pertunangan Alan dan Michelle sudah tinggal menghitung hari, namun Michelle masih saja dihadapi dengan kebosanan yang sama dan aktivitas yang sama—bangun tidur, mandi, makan, dan tidur lagi.

Alan, laki-laki itu juga masih sibuk dengan pekerjaannya. Tidak, bahkan lebih parah. Ia memang sempat bilang kalau akan sibuk, karena semua meeting dengan kliennya dimajukan akibat pertunangan mereka, tapi Michelle tidak mengira kalau Alan akan sesibuk ini. Akhirnya Michelle hanya berdiam diri di mansion laki-laki itu. Bahkan beberapa kali ia berangkat sebelum Michelle bangun dan pulang di saat Michelle sudah tidur—persis seperti hari ini.

Michelle sudah memejamkan matanya—ini juga sudah tengah malam, namun tiba-tiba ia dipeluk dari belakangoleh seseorang dan orang itu malah dengan tidak berdosanya merapatkan tubuhnya ke punggung Michelle. Akhirnya Michelle menggerutu dan langsung menyingkirkan tangan orang itu dari pinggangnya. Michelle haal betul orang itu.

"Apa sekarang hobimu menyelinap ke kamar orang?" Tanya perempuan itu dengan suara seraknya. Bukannya menjawab, Alan malah kembali memeluk Michelle dan mengendus-endus rambut Michelle seperti anak anjing.

"Stop it!" Geram Michelle.

["Hentikan!"]

"Tidak boleh? Apa kau tidak merindukanku?" Tanya Alan dengan suara memelasnya.

"Padahal kita sulit bertemu akhir-akhir ini." Tambah laki-laki itu.

"Itu salahmu dan aku sama sekali tidak merindukanmu."

Alan hanya menghela nafas dan melepaskan tangannya dari pinggang Michelle, namun ia belum beranjak dari tempatnya. "Kau bilang tidak, tapi para pelayan bilang kalau kau sering sekali melamun. Jangan lupakan kau yang suka menanyakan kapan aku akan pulang pada mereka."

Semburat merah langsung muncul di pipi Michelle, beruntung keadaan kamar itu gelap sehingga Alan tidak bisa melihatnya. Ya Tuhan, Michelle malu sekali karena pelayan-pelayan itu berani mengadu soal itu kepada Alan. Tentu saja, Alan adalah tuan mereka dan bodohnya Michelle melupakan hal itu. Memang Michelle sering menanyakan kapan Alan akan pulang, namun ia tidak tahu kalau ia juga suka melamun.

"Tidak. Kapan aku melakukannya?" Michelle berusaha menyanggah meski dirasa percuma. Ia sudah tertangkap basah saat ini.

Alan pun terkekeh. "Kau imut sekali, kau tahu? Kau masih saja mengelak."

Michelle berdecak dan langsung membalikkan badannya, membuat Alan tahu ekspresi kesal perempuan itu.

"Itu karena aku tidak memiliki teman untuk berpergian dan tidak ada yang bisa aku lakukan lagi di sini." Jelasnya.

"Aku sudah menyiapkan mobil berserta supirnya untukmu, juga kartu kredit yang bisa kau gunakan. Kau bisa pergi kemana pun."

Michelle menyeringai. "Kalau begitu aku bisa pulang ke Indonesia?"

"Tidak untuk yang satu itu." Timpal Alan cepat-cepat.

"Apa-apaan? Kau bilang aku bisa pergi kemana pun."

Alan menghela nafasnya. "Ya, setelah acara pertunangan kita. Lagipula keluargamu akan datang sebentar lagi, jadi untuk apa kau pulang ke Indonesia?"

"Karena kau bicara soal kembali Indonesia..." Ia menatap Michelle kesal. "Aku baru sadar kalau passport-mu hilang tanpa jejak dari meja kerjaku."

Mendengar itu, Michelle langsung tertawa geli karena Alan baru menyadarinya hari ini. Padahal ia sudah mengambilnya beberapa hari ke belakang.

"Kau baru menyadarinya?" Tanya Michelle masih dengan senyuman jahilnya.

He Wants MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang