[3] She is The One

16.1K 653 14
                                    

"Everything is ready, Sir. Your grandpa has joined the party." Ucap seorang pelayan tua dan membuat pria—yang sedang duduk di sofa panjang dan nyaman—itu pun berdiri sambil merapihkan jas hitamnya.

"Okay, i'll be there in a few minutes." Pria itu memberi isyarat agar pelayan tua—yang selama ini setia untuk bekerja kepada keluarganya itu—meninggalkannya untuk memberi sedikit waktu.

Ia melihat dirinya di cermin kemudian menarik nafas panjang, namun perlahan, sebelum menghembuskannya lagi. Meski sudah berkutat dengan kakeknya selama ini untuk mengurus perusahaan, ia tetap saja gugup karena hari ini adalah hari dimana ia akan resmi menjadi CEO dari perusahaan itu. Crawford Corporation, siapa yang tidak tahu akan perusahaan yang telah mendunia itu? Lalu siapa pria itu? Alan Benjamin Crawford—itulah namanya. Pewaris resmi dari perusahaan mendunia itu. Hari ini akan menjadi saksinya.

Mari lakukan ini Alan.

Ia mengencangkan dasi yang tampak sedikit kendur sebelum akhirnya melangkah pergi dari ruangan.

***

Lampu-lampu menyinari ballroom ditambah dengan  gemerlap sebuah mampu kristal gantung besar di tengah ruangan semakin memeriahkan pesta malam ini. Semua orang tampak bahagia dalam obrolan mereka masing-masing. Suara mereka saling bertautan sehingga tidak terdengar jelas oleh seorang pria yang sedang berjalan mencari kakeknya. Pria itu melangkah dengan pasti begitu melihat sosok yang dicarinya ternyata sedang asik mengobrol dengan beberapa petinggi perusahaan.

"Gandpa." Panggil orang itu hingga pria yang dia panggil kakek pun menoleh.

"Oh, Alan. Finally i found you." Keriput bermunculan ketika kakeknya tersenyum. "Glad to see you. Dare to tell me how you feel right now?"

Alan hanya tersenyum lalu meraih bahu Jonathan—kakeknya. "Really good."

"Okay. Enjoy the party before the main dish is served." Ujar Jonathan yang hanya dibalas senyuman Alan. Jonathan berlalu dengan petinggi-petinggi perusahaan itu, sedangkan Alan lebih memilih untuk berbaur dengan tamunya. Meski terkenal dingin dan ketus terhadap pegawainya, namun Alan bisa berbeda 180 derajat terhadap tamunya.

Ia masih mengobrol dengan tamu-tamu penting perusahaannya, sampai segerombolan wanita menghampirinya dan mulai bermanja-manja padanya. Sungguh Alan merasa sesak dengan mereka, jijik sekaligus kasihan karena mereka harus sampai seperti ini agar mendapat perhatian dari Alan. Namun karena memang sifatnya yang tidak suka basa-basi, ia akan langsung mangkir dari wanita-wanita itu dan memilih untuk menghilang di keramaian pesta. Ia bisa melakukannya berulang kali sampai wanita-wanita itu menyerah.

Begitu sampai di salah satu stand makanan, ia hendak mengambil minuman ketika suara pekikan wanita menarik seluruh perhatiannya. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita dengan gaun merah darah, yang sangat ia kenal sebagai Rebecca, telah basah dengan minuman berwarna mengucur dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Di hadapannya berdiri wanita yang lebih tinggi dari Rebecca—sekitar 5 cm—tengah memegang gelas yang sudah kosong dan memandang Rebecca dengan wajah geram sekaligus raut wajah kemenangan.

Apa yang telah terjadi? Tanya Alan sambil terus memperhatikan momen menegangkan bagi kedua wanita itu.

"How dare you?!" Rebecca mengangkat tangannya dan seperti hendak menjambak rambut wanita di depannya, tapi tidak disangka, wanita itu malah mendorong Rebecca keras-keras hingga ia tersungkur ke belakang.

"You deserve it, your highness!" Seru wanita itu kepada Rebecca. "Arrogant woman like you is lower than rubbish!" Tambah wanita itu. Kemudian ia membantu seorang pelayan wanita, yang sepertinya sedari tadi sedang berjongkok ketakutan, dan membawanya pergi begitu saja.

He Wants MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang