[7] Worse than Nightmare

9.8K 431 7
                                    

Michelle baru saja sampai di apartemennya sore itu setelah Reno mengantarnya pulang. Ia langsung melempar tasnya ke sofa dan berjalan menuju lemari es—mengambil sekaleng orange juice yang ia beli minggu lalu, kemudian ia meminumnya dengan keadan berdiri.

Perhatiannya langsung teralihkan ketika ponselnya berdering dan memecah keheningan apartemennya itu. Michelle segera berlari kecil dan mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Dahinya berkerut ketika layar ponselnya menunjukan nomor yang sama sekali tidak ia kenal, dan yang paling membuatnya heran, itu merupakan panggilan luar negeri.

Siapa?

Dengan sedikit ragu, akhirnya Michelle menerima panggilan itu.

"Hello." Ucap Michelle sesaat setelah ia menekan tombol hijau.

"Hello, Michelle."

Mata Michelle langsung membelak-lak begitu mendengar suara berat di ujung sana. Ia bahkan sampai menahan nafas untuk beberapa saat. Rahangnya terkatup rapat dan tubuhnya menegang.

"Hello? Are you there?" Tanya orang itu dengan suara malasnya.

"What the hell are you doing, Alan?! How can you have my phone number?! For the God's sake don't ever call me again!" Michelle langsung mematikan panggilan itu dan melempar ponselnya ke sofa. Ia terduduk sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.

Dua bulan ini hidupnya sudah tenang karena tidak melihat wajah menyebalkan laki-laki itu, namun sekarang dia menghubungi Michelle yang entah darimana Alan bisa tahu nomor ponsel Michelle yang bahkan tidak pernah Michelle sebarkan secara asal. Lalu bagaimana dia bisa mendapatkan nomor Michelle? Seketika Michelle ingat kalau Alan pernah menyita ponselnya itu dan Michelle yakin kalau Alan memanfaatkan momen itu untuk menyimpan nomor ponselnya.

"Arghh! Gue lengah!" Teriak Michelle kesal.

Tak berselang lama ponsel Michelle berbunyi kembali, masih dengan nomor yang sama dan itu tidak membuat Michelle berpikir dua kali untuk tidak menerimanya. Michelle membiarkan ponselnya itu dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia ingin sekali mandi air hangat untuk menghilangkan semua penatnya, masa bodoh dengan orang itu.

Seusai membersihkan diri, Michelle mengenakan kaos putih polos dan celana tidurnya. Rambutnya yang tadi ia gulung menggunakan handuk, kini ia gerai dan tetesan air mulai jatuh ke lantai kamarnya. Michelle sedang malas menggunakan hairdryer.

Kembali pada ponselnya. Michelle memeriksa ponselnya dan ternyata ada 33 panggilan tak terjawab yang sudah pasti dari Alan—sialan—itu, serta satu panggilan tak terjawab dari kakaknya. Mungkin sesuatu yang penting, maka Michelle langsung menghubungi balik kakaknya itu.

"Michelle!" Pekik Reno seakan kembali menemukan Michelle yang telah hilang selama bertahun-tahun.

"Apaan sih, Mas? Jangan teriak-teriak." Sungut Michelle setelah menempelkan kembali ponsel itu ke telinganya.

"Maaf, Mas kelepasan. Besok kamu ada jadwal?"

Michelle berpikir sejenak. "Enggak. Emang kenapa?"

"Besok ke rumah, ya. Ada yang mau papah sama mamah omongin."

"Emang soal apa?"

Kemudian Michelle mendengar Reno menghela nafasnya. "Besok aja disini."

"Oke, Mas. Besok Michelle kesana rada siangan, ya." Setelah mengatakan 'oke', Reno menutup panggilannya.

Michelle terdiam sejenak. Aneh. Tumben sekali ayah dan ibunya ingin bicara sesuatu secara bersamaan. Biasanya, kalau memang ada yang ingin dibicarakan, cukup salah satu dari keduanya—atau mereka bisa meminta tolong kakaknya itu. Hanya saja, meski dipikirkan berkali-kali, Michelle tidak mungkin mendapat jawabannya. Ia pastinya harus menunggu sampai besok. Akhirnya Michelle beranjak dari ruang tengah dan masuk ke kamarnya.

He Wants MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang