Epilog

14.3K 1.8K 280
                                    

Sepanjang hidup gue, gue selalu berpikir dan merasa bahwa gue nggak pantas untuk mendapatkan kebahagiaan, baik dari orang-orang terdekat gue, maupun dari orang-orang yang gue cintai.

Sejak kecil, melihat pertengkaran hebat yang selalu dilakukan orang tua gue, bagaimana Papa gue selalu membawa wanita yang berbeda tiap malam ke rumah, dan pada puncaknya melihat sendiri Mama gue yang mati di depan gue, membuat gue berpikir bahwa cinta bukanlah sebuah kata yang tepat untuk seorang Min Yoongi.

Sejak kecil, karena keluarga besar gue berasal dari keluarga berada yang kemakmurannya diturunkan secara turun menurun, dari generasi ke generasi, gue selalu diajarkan bahwa I'm the king, so I should act and be treated like a real king. Gue berpikir, untuk menjadi seorang raja, gue harus jadi kuat dan tak terkalahkan oleh siapa pun.

Sejak gue remaja, gue menjadi bocah paling kuat, paling ditakuti, dan tak terkalahkan dalam berkelahi. Gue selalu melakukan dan menjadi apa yang gue mau. I had to be number one at every where I was, yang membuat ego gue tinggi sejak remaja.

Termasuk hanya karena sebuah bola basket yang nggak sengaja mengenai kepala gue. Another fucking trouble, pikir gue saat itu. Melihat di hadapan gue berdiri gadis mungil yang kelihatan ketakutan saat gue berjalan ke arah dia, I even had thought to play on her a bit. Dia sama aja dengan para anak sekolah gue yang lain, yang bahkan sama sekali nggak berani menatap tepat ke arah mata gue saat gue menatap ke arah mereka.

Until one day, our lips met.

Gue nggak tahu apa yang terjadi dengan diri gue. Gue seperti orang gila, yang bahkan nggak bisa menghilangkan sosok perempuan itu di otak gue. Harum aroma, senyum dia, bahkan sikap dia yang masih baik di saat gue selalu bersikap buruk di hadapan dia.

Saat gue makan, di saat gue sedang kumpul dengan para sobat gue, di saat jari-jari gue tengah bermain di atas tuts-tuts, bahkan tepat di saat gue memejamkan mata untuk tidur dan membuka mata di saat bangun.

Karena dia, gue mulai berpikir kalau gue pada akhirnya layak untuk mendapatkan kebahagiaan.

Sampai gue melakukan kesalahan paling fatal yang gue lakukan seumur hidup gue. Gue nggak akan pernah lupa bagaimana air mata dia yang turun karena kebodohan dan sikap brengsek gue. Sejak itu, gue berpikir lagi, bahwa selamanya mungkin gue nggak akan pernah layak mendapatkan kebahagiaan.

Gue terlalu pengecut untuk bertemu, atau sekedar menyapa dia lagi. Hingga akhirnya, yang dapat gue lakukan adalah menyaksikan perempuan dari jauh, selama lebih dari tujuh tahun. Butuh waktu yang sangat lama bagi gue supaya hati gue siap untuk bertemu dengan dia lagi.

"Kak Yoongi nangis?"

Gue masih ingat suara lembut yang sama sekali nggak berubah sejak tujuh tahun yang lalu, dan aroma tubuh yang masih ada, tercampur dengan wangi parfum wanita dewasa. She has changed, but she's still the same as she was at the same time.

Tangan lembutnya yang mengelus air mata gue, gue bisa melihat dia yang tersenyum geli melihat kondisi kacau gue saat untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun gue bertemu dia lagi. Setelah itu, dia menggenggam tangan gue.

"Sparing tiga lawan tiga. Kayak biasanya, Bang Yoongi sama Bang Namjoom yang jadi ketua. Fine, then. Kita mulai sekarang. From three, two, one..."

Dan saat bola melambung tinggi, permainan dimulai dimana Jungkook menjadi wasit. Basket, permainan yang menjadi favorite kami bertujuh, bahkan setelah umur kami mencapai tiga puluh tahun sampai hari ini.

"Hoseok, turn left!" teriak gue begitu melihat bola melaju ke arah kiri gue yang dibawa Namjoon. Gue segera lari dan dengan gesit menangkap bola yang baru saja direbut dan dilempar Hoseok. Dan setelah itu, gue melakukan slam dunk sebelum bola dengan tepat masuk ke dalam ring. Setelah setengah jam, permaian selesai dimana tim kecil gue menang dengan score 23-17.

"Bang, dicariin tuh." Jimin menepuk bahu gue.

"Gua?"

"Cewek lo." Dia menunjuk ke arah gazebo. Sudah ada Seungwan dan Yerim, melambaikan tangan ke arah kami.

"Wih, calonnya ngapel. Nggak sia-sia ya dulu selama tujuh tahun lo masih suka nyuruh orang buat ngikutin doi. Bikin kaum jomblowers tambah panas!" kata Hoseok yang membuat gue mendengus dan tersenyum kecil.

"Makannya bang, buruan cari calon. Masa lo kalah sama gue yang tahun ini mau married?" perkataan Jungkook membuat anggota BTS lainnya tertawa. Gue cuma mendengus, lebih memilih berjalan ke arah Seungwan.

"Halo Kak Yoongi. Udah lama nggak ketemu, ya? Gimana kabarnya? Hehe." Yerim tersenyum ke arah gue, walaupun gue tahu masih ada sirat mata ketakutan saat menatap gue. Pandangan yang sampai saat ini orang lain berikan tiap menatap ke arah gue.

Yang gue tahu, Jungkook dan Yerim berencana untuk menikah akhir tahun ini. Jungkook adalah yang paling muda dari antara kami, dan dia juga yang pertama menikah dari antara kami para abang-abangnya.

"Good. Ketemu Jungkook?" tanya gue datar.

"Hehe... iyalah. Masa mau ketemu Kak Hoseok kan lucu. Ya udah kak, saya ke sana dulu, ya. Udah ditunggu."

"Fine."

Setelah itu, Yerim pergi ke arah Jungkook, meninggalkan gue dan Seungwan berdua. Gue bisa melihat senyum manis dan lembut wanita gue saat tangannya mengelap keringat yang menetes di wajah gue.

"Capek? Gimana Pak Direktur? Kerjaannya lancar?"

Gue mendengus, tapi gue sama sekali nggak bisa menghilangkan jejak senyum di muka gue, "Semuanya fine. Kemarin ada masalah di kantor pusat di Malaysia. Minggu depan harus ke sana lagi."

"Berapa lama? Kayaknya kakak sibuk terus ya akhir-akhir ini."

"Hampir sebulan. Mau oleh-oleh?"

Gue bisa melihat senyum Seungwan yang turun dan kepalanya yang menggeleng. Tiap akhir minggu, gue selalu menyempatkan diri untuk ke Semarang. Gue sama sekali nggak masalah jika harus bolak-balik Jakarta-Semarang untuk bertemu Seungwan. Waktu yang gue habiskan dengan dia lebih berharga dari apa pun saat ini. Dia adalah prioritas gue saat ini.

"Nggak usah sedih, " gue membenarkan poni Seungwan yang menutupi matanya, "I'll treat you something to eat today. Di deket kantor ada restoran ayam bakar baru. Mau?"

"Mau banget! Kita jalan-jalan dulu aja ya tapi, jangan langsung makan. Ke Grand Indonesia gimana? Deket kan sama tempat makannya?"

"Fine, kita ke sana dulu," gue mengambil tangan Seungwan dan menggenggam tangan perempuan itu sebelum kami berdua berjalan, "Gimana kantor? Masih suka lembur?"

"Ya begitu. Kamu masih inget kan sama Mbak Sunny yang pernah aku ceritain ke kamu? Masa kemarin lusa dia..."

Gue menatap dalam Seungwan yang sibuk dan asyik menceritakan bagaimana kondisi dia selama di kantor seminggu ini. Melihat Seungwan yang tersenyum bahagia, gue ikut tersenyum juga. Sekarang, gue merasa gue sudah layak dan pantas mendapatkan kebahagiaan, dari orang yang paling gue cintai di hadapan gue saat ini.

SELESAI

ADORING SEUNGWAN✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang