Tujuh Belas

7.2K 597 29
                                    

Haloooooo! Apa kabar nih?:') ada yang kangen sama author? Gak ya?😢

Oh, ya, author udah lama nih  nggak pernah muncul di Wattpad :( kuliahnya sekarang banyak tugas:( banyak tanggungan kuliah ;') susah mau ngelanjutin ceritanya :') semoga masih enjoy yaaa sama cerita ini :') luvluv!

---

Kedekatan Lifa dengan Dika semakin erat. Entah kenapa Lifa benar-benar bisa dekat dengan Papanya. Itu membuat Dika semakin kesulitan untuk berangkat kerja, bahkan akhir-akhir ini ia sering terlambat karena Lifa tidak ingin berpisah dengannya.

Dara sedang duduk-duduk di depan rumah bersama tetangga-tetangga yang lain. Bercengkerama bersama dengan tetangga-tetangga. Terkadang Dara hanya tertawa kalau semisalnya ia tidak mengetahui beberapa kosa kata bahasa Jawa dan Madura.

“Loh, Mas Dika sekarang kok nggak pernah kelihatan?” tanya Mas Irul sambil memantik rokoknya dan duduk di depan rumahnya. Kebetulan, rumah Mas Irul dengan rumahnya berhadapan.

“Ah, Mas Dika masih di rumah kok, Mas Rul. Tapi pulangnya kadang sore jam segini, kadang malem.”

“Lho, aku pikir berangkat tugas lagi, Mbak Dar, nggak pernah kelihatan sih,” tambah Bu Rahmi, “Bukannya barusan pulang dari Jakarta ya?”

“Iya, Bu Rahmi, itu sudah hampir sebulan, Bu.” Dara tertawa.

“Mbak Dara kuat ya, udah hamil, ngurus anak, ngurus rumah, ngurus apa aja masih sanggup walaupun ditinggal tugas.”

“Yah, begini lah, Bu, kalau ditinggal tugas saya bisa apa. Sudah risikonya begini, Bu,” Dara tertawa.

“Sudah hamil berapa bulan sih, Mbak?” tanya Mbak Ike.

“Udah mau lima bulanan sih, Mbak,” jawab Dara sambil mengelus-elus perutnya.

Nampak dari kejauhan, Dara melihat pria berbadan jangkung menaiki sepeda motor dengan memaksakan kakinya tertekuk di sana. Motor kesayangannya masih dibetulkan di Bengkel. Wajahnya tertutupi kaca helm berwarna hitam. Setelah tiba di depan pintu gerbang, Dika mematikan motornya dan melepaskan helmnya. Dara dengan sigap mencium tangan suaminya dan menerima helmnya. Lalu, berpamitan dengan orang-orang untuk mengurus kedatangan suaminya sepulang kerja.

Dara menatap Dika tengah duduk di kursi sofa dengan memejamkan matanya, menarik nafas berat sambil menggenggam sebuah kertas. Ia meletakkan kertas itu di meja. Entah, kertas apa itu. Sepertinya surat itu yang membuatnya menjadi seperti ini.

“Mas, mau dibikinin kopi?”
Dika menggeleng.

“Teh?”

Tetap menggeleng.

“Jus apel?”

Tetep sama.

“Air putih?”

Dika terdiam. Kedua matanya masih terpejam. Dara pun langsung duduk, seraya memeluk suaminya, “Kenapa, Mas? Ada masalah di kapal ya?”

Dika menggeleng.

“Punya masalah sama temen-temenmu?”

Tetap saja.

Entah kenapa suaminya mendadak jadi begini. Dara masih mau menunggu suaminya tenang dan mulai bercerita. Dika pun langsung memperbaiki posisi duduknya. Kedua matanya menatap ke arah kertas yang ia letakkan di meja.

“Mas mau berangkat ke Jerman.”

Dara terkejut mendengar kata-kata itu. Tidak ada angin, tidak ada hujan, mendengar kabar kalau Dika akan berangkat tugas ke Jerman. Entah ada apa, tapi apa itu bakal memakan waktu lama sampai-sampai ia harus melahirkan tanpa kehadiran Dika untuk kedua kalinya?

SANDARANDIKA 4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang