Dua Puluh Tiga

7.8K 607 46
                                    

Halooooo! Selamat siang hehehew, ada yang kangen aku nggak nih?:p ga kerasa banget udah part ke 23, hehehehe, tetep enjoy aja yaaaa sampai cerita ini selesai huhuhuhu, happy reading!

---

Seminggu setelah lebaran, Dika sudah mulai bekerja seperti biasanya. Semenjak kejadian itu, Dara menjadi orang yang sangat pendiam. Ia benar-benar terpukul dan tidak bisa melupakan kejadian yang baginya itu semua adalah salahnya. Dika berusaha untuk menghiburnya di sela-sela ia pulang kerja. Tetapi, kebahagiaan itu hanyalah sesaat.

Malam itu, kedua anaknya sudah tidur. Dika melihat Dara tengah terbaring menghadap Khalifa sambil mengelus-elus  rambut Khalifa dengan lembut.

“Kamu kenapa toh kok diem terus?” Dika angkat bicara. Ia melepaskan kaosnya menyisakan kaos putih tanpa lengan dan kalung dogtag-nya, dan ia lemparkan ke dalam ember berisikan pakaian-pakaian kotor.

“Nggak papa,” jawabnya ketus. Itu adalah jawaban yang tidak memuaskan.

“Aku sama kamu udah hampir tujuh belas tahun lho, masih aja bohongin aku?”

“Aku nggak tahu lah,” Dara beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar.

Dika mengikuti langkah kaki Dara berjalan ke arah ruang tamu. Dara langsung terduduk memeluk bantal yang ada di sana.

“Kamu kenapa sih? Aku salah apa? Masa habis lebaran, habis maaf-maafan kok kita jadi begini?” tanya Dika.

“Bukan,” Dara menggeleng lemah, air matanya jatuh kembali, “Aku masih nggak nyangka banget kalau Rama udah nggak ada, Mas. Aku akhir-akhir ini stres gara-gara itu! Ketambahan Lifa masih belum bisa ngomong, belum lagi kalau mas mau berangkat tugas. Rasanya pengen pecah ini kepalaku!” teriak Dara seketika.

Dika yang terpaku dalam duduknya langsung mendekap erat tubuh Dara. Hanya pelukan yang bisa membuat Dara lebih tenang dalam saat-saat ini.

“Udah teriak-teriaknya?” tanya Dika setengah berbisik, “Nangis aja kalau itu buat kamu lebih baik.”

Dara langsung berteriak dan menangis sekencang-kencangnya di dalam pelukan Dika. Dika semakin erat memeluknya untuk meredam rasa amarahnya. Dika benar-benar tidak ingin dilanda perasaan rasa bersalah seperti ini. Dika akan selalu merasa sangat bersalah kalau Dara tidak bahagia. Dika pun langsung menyeka air mata Dara dengan lembut.

“Nangisnya udah?” tanya Dika memastikan, “Udah ya, jangan nangis ya. Rama di sana paling nangis terus kalau lihat kamu nangis begini. Udah ya.”

Dara pun tersenyum. Lalu menyeka sisa air matanya.

“Semua nggak ada yang abadi, sayang. Mungkin cinta kita abadi, tapi bukannya kita harus selalu menerima kenyataan kan? Aku jadi Ayahnya pun rasanya nggak nyangka, tapi mau gimana lagi? Kalau itu sudah kehendak Allah ya, kita bisa apa?” Dika berusaha memberinya pengertian kepada Dara. Mereka pun saling melemparkan senyum.

“Mas, dua hari lagi kan ulang tahun pernikahan kita kan ya?”

“Yep, ulang tahun pernikahan ke 7 tahun kan? Nggak nyangka aja kita udah saling sabar selama tujuh belas tahun, kayak syarat bikin KTP aja,” Dika tergelak tawa.

“Makan-makan yuk? Ngajak Gema sama Lifa jalan-jalan juga,” Dara terkikik.

“Gampang laah! Itu bisa diatur,” Dika tertawa, “Udah malam nih, yuk tidur.”

***

Dika terduduk lemas di ruangannya setelah menghadiri pertemuan dengan komandan dan perwira yang lain. Ia kalut. Ia tidak bisa berbicara apa-apa setelah ini. Ia tidak bisa apa yang harus dikatakan kepada Dara nanti.

SANDARANDIKA 4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang