Delapan Belas

7.6K 573 25
                                    

Holaaaaa, apa kabar? Pada kangen sama Sandarandika yaaaa? Ngaku deh😛 tapi kalo nggak ada gak apa-apa sih😢 maaf jarang update gara-gara banyak tugas huhuhu pengen nangis rasanya :( btw part 18 udah update yaa! Enjoy hahahahahaha

---

Dara baru saja memeriksakan kandungannya selama lima bulanan ini. Syukurlah perkembangannya cukup baik dan semoga kedepannya akan lancar sampai persalinan.

Dara keluar dari ruangan dokter, ia terdiam dan menatap banyak sekali ibu-ibu yang sedang kontrol kandungan ditemani suaminya masing-masing.

“Enak kali ya kalau kontrol kandungan ditemenin sama Mas,” batin Dara dalam hati. Melihat beberapa wanita yang ditemani oleh suami tercinta.

Ia langsung melihat layar ponselnya, terdapat wallpaper fotonya dengan Dika, “Ya ampun, nggak boleh ngomong gitu, Dar! Mas lagi tugas!” teriaknya dalam hati sambil meninggalkan tempat itu. Dara langsung menyusuri koridor berjalan ke arah parkiran.

Dara memasuki mobilnya. Menyalakan mesin mobilnya dan menjalankan mobilnya untuk pulang. Ia segera menjemput Gema sekolah saat ini juga, tapi apa daya kalau sudah macet begini.

Ding-ding-ding

Ia melihat ponselnya bergetar di dalam tasnya yang terbuka. Ia tersenyum saat melihat nama yang familiar baginya tengah menelponnya. Laki-laki yang ia cintai masih ada di Jerman, entah kapan pulang. Ia mengambil ponsel itu dan ia letakkan di phone holder.

“Halo, di sana udah pagi belum?” tanya Dika seketika. Terdengar giginya bergemelatuk, mungkin saja Dika kedinginan di Jerman.

“Sudah, Mas, di sini panas banget, gerah di sini,” kata Dara sambil mengikat rambutnya di saat mobilnya masih terjebak macet, “Mas lagi sakit ya? Kok suaranya aneh gitu?”

“E-enggak,” jawab Dika lirih, “Di sini dingin banget, Dek. Ini aja pakai jaket dua lapis masih kerasa dinginnya.”

“Emangnya suhunya berapa, Mas?”

“Engg--” nada bicaranya menggantung, “Sekitar minus delapan derajat celsius. Tapi ini jam empat pagi sih, masih gelap banget.”

“Yang tabah ya, Mas, yang kuat,” Dara tertawa cekikikan di dalam mobil, “Di Surabaya suhu dua puluh derajat aja udah dingin, apalagi kalau minus delapan.”

“Kalau Mas pulang kayaknya aku harus minta kerokan sama kamu deh,” desis Dika, “Sumpah ini lebih dingin daripada di Lebanon sama Spanyol.”

“Dilihat dulu, Mas, pas ke Spanyol itu bulan apa. Bulan ini kan masih wajar kalau musim dingin. Pokoknya kuat-kuat aja deh, Mas. Namanya juga tugas, nggak boleh ngeluh,” tutur Dara.

“Oh iya ya. Makasih, udah diingatkan,” seolah-olah Dika tersenyum di sana, “Eh, iya, lagi ngapain?”

“Lagi duduk termenung menunggu kendaraan di depan mulai jalan,” nada malasnya mulai keluar.

“Lho, kamu di mana emang?”

“Habis pulang kontrol kandungan, Mas. Yah, biasa lah emak-emak.”

“Ah, maaf ya,” celetuk Dika tiba-tiba.

“Maaf kenapa, Mas?” tanya Dara tak mengerti.

“Maaf kalau aku nggak pernah bisa nemenin kamu kontrol kandungan. Kemana-mana kamu harus sendiri. Maaf juga masih belum jadi suami yang baik.”

“Halah, aku udah biasa, Mas, walaupun awalnya enggak betah kalau ditinggal terus, nggak ada komunikasi sama sekali,” Dara tertawa, “Yang penting Mas bisa pulang dengan selamat, bisa main sama anak-anak, ngehibur anak-anak, aku udah seneng kok.”

SANDARANDIKA 4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang