Jilid 21

1.6K 31 0
                                    

Ketika ia mendekati patung orang yang kedua dan sinar api dalam bumbung Hee Thian Siang menyoroti orangnya, ia terkejut dan berdiri kesima. Sebab wajah dan potongan orang itu agaknya tidak asing baginya, adalah pendekar pemabokan Bo Bu Yu yang mengadakan perjanjian dengannya yang hendak bertemu di gunung Ngo-bie-san! Di depan dada Bo Bu Yu juga tergantung sebuah plat kuningan, di situ tertulis: "PATUNG SALJU KEDUA. PENDEKAR PEMABOKAN BO BU YU"

Terhadap patung berbaju putih Siauw tek, karena Hee Thian Siang belum pernah kenal dengannya, ia masih menyangsikan kebenarannya. Tetapi terhadap pendekar pemabokan Bo Bu Yu ia sedikitpun tidak merasa curiga. Ia tahu benar, sekalipun Oe Tie Khao sendiri yang terkenal sebagai tukang ukir terpandai pada masa itu juga tidak mampu menciptakan patung demikian mirip dengan keadaan pendekar pemabokan yang asli.

Di dalam keadaan terkejut dan sedih, dengan sendirinya bulu roma Hee Thian Siang berdiri, keringat dingin juga membasahi badannya. Ia kini baru menyadari bahwa di sekitar tempatnya berdiri penuh dengan bahaya maut; maka ia lalu mengeluarkan barang pusaka perguruannya yang berupa bom peledak Kian Thian-pek-lek, benda itu digenggam dalam tangannya, siap hendak menghadapi segala kemungkinan.

Ketika tangan Hee Thian Siang dimasukkan dalam sakunya, orang tua berbaju kuning yang diam-diam mengikuti di belakang dirinya, sudah hendak menggerakkan jari tangannya untuk menotok jalan darah belakang kepalanya. Tetapi ketika orang tua itu melihat Hee Thian Siang mengeluarkan butiran benda kecil yang dapat digunakan untuk merubuhkan bukit, sejenak tampak terkejut. Agaknya ia tahu benar hebatnya senjata itu sehingga tak berani menurunkan tangan keji.

Hee Thian Siang terus menggunakan api istimewanya, di jarak yang hampir sama kembali tampak sesosok bayangan orang yang mengenakan jubah warna kuning. Dari samping kelihatan brewoknya yang panjang dan tebal. Orang berjubah kuning bermuka brewokan itu merupakan tanda she bagi Hee Thian Siang. Maka setelah berpikir sejenak lantas teringat bahwa orang itu tak lain Hong-tien Ong-khek yang pernah menghadiahkan sebutir kipas pusakanya.

Hong-tien Ong-khek May Ceng Ong merupakan salah satu dari tiga orang terkuat dalam rimba persilatan pada masa itu. Bukan saja namanya sangat terkenal, kepandaian ilmu silatnya juga sudah mencapai taraf yang tiada-taranya, akan tetapi kini juga sudah menjadi beku di dalam goa Siang-swat-long. Ini bukankah sangat mengejutkan Hee Thian Siang.

Selagi hendak maju lagi untuk mengadakan pemeriksaan lebih lanjut, dari luar goa tiba-tiba terdengar suara siulan binatang yang sangat tajam. Suara itu adalah suara kera Siaopek, maka ia segera mengetahui bahwa pasti ada orang Kie-lian-pay yang berada di luar goa.

Ia masih belum tahu benar siapa orang yang datang karena masih berada dalam goa, lagi pula tidak kenal keadaan dalam situ, sudah tentu sangat berbahaya baginya. Maka ia lalu membatalkan maksudnya yang hendak menyelidiki patung brewokan itu, apakah betul Ong-khek May Ong ataukah bukan. Maksud utamanya yang hendak mencari potongan thian-keng yang dipindahkan dari goa tempat kuburan elang raksasa. Secepat kilat ia sudah lari keluar goa lagi.

Ketika Hee Thian Siang berpaling, orang tua berbaju kuning berambut panjang di belakangnya kembali mengangkat tangan hendak menurunkan tangan keji. Tetapi akhirnya oleh karena takut menghadapi bom peledak Kiau-tian-pek-lek, maka membiarkan ia keluar dengan penasaran. Hee Thian Siang tak tahu bahwa Kian thian-pek-lek yang merupakan senjata terampuh dari perguruannya sudah menolongnya dari bahaya maut. Ia hanya merasa waktu itu walaupun sudah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk menahan serangan hawa dingin, namun masih tidak berhasil, maka buru-buru ia keluar dari dalam goa.

Tiba di luar goa, di situ ternyata sunyi-senyap, tidak terdapat bayangan seorangpun termasuk Siaopek dan Taywong. Selagi dalam keadaan terheran-heran, tiba-tiba telapak tangan yang berbulu kuning menarik dirinya ke atas gunung yang tinggi. Ketika taywong dan Hee Thian Siang tiba di atas puncak gunung yang tinggi, Taywong mengeluarkan tangannya menunjuk ke bawah. Hee Thian Siang segera tampak Siaopek yang mengenakan rompi emasnya dengan sangat lincahnya sedang memainkan diri Go Eng yang kakinya tinggal satu, sehingga berputar-putaran hendak menyergap Siaopek.

Makam Bunga MawarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang