29

1K 184 41
                                    

[ SUGA ]


Sebuah negara tidak akan menjadi bangsa kalau tidak berpenghuni. Sebuah ruang tidak akan menjadi tempat kalau tidak bermakna. Dan sebuah keluarga tidak akan menjadi rumah kalau tidak harmonis.

Bingung? Aku sendiri tidak sedang berusaha menjadi laki-laki filosofis, sih.

"Suga?"

Suara lembut Ibu yang terdengar dari dekat pintu membuatku sangat mengejutkanku yang sedari tadi tenggelam dalam lamunan.

"Sudah selesai cuci piring?" tanya Ibu kemudian menghampiriku, anak laki-laki yang memakai celemek dari restoran keluarga kami dan sedang mencuci tumpukan piring yang ada.

Ibu mengulurkan tangannya untuk membantuku. Beliau mengusap rambutku sekilas sebelum membasahi tangannya dengan air. Hari sudah gelap, restoran kami sudah tutup. Aku sudah pulang ke Daegu dalam rangka liburan chuseok.

"Besok pagi kamu harus ke stasiun, ya?" tanya Ibu. "Katanya kamu mau jemput temanmu? Berarti kamu harus tidur cepat malam ini."

Aku tiba dua hari lebih dulu di Daegu sebelum keluarga Wendy datang besok menggunakan kereta. Mereka berempat akan menghabiskan liburan chuseok di Daegu selama 4 hari 3 malam. Besok, pagi-pagi sekali, aku harus menjemput mereka di stasiun dan mengajak mereka jalan-jalan selama seharian penuh.

"Coba cerita ke Ibu, seperti apa temanmu itu," lanjut Ibu. "Apa dia perempuan yang selalu diceritakan Sora?"

"Kak Sora bilang apa?" tanyaku spontan.

"Sora bilang kamu menyukai perempuan itu. Wendy," jawab Ibu.

Saat ini, di ruangan paling belakang di restoran keluarga kami, hanya ada aku dan Ibu. Hati kecilku merasa ragu, apa aku harus menjemput Wendy dan keluarganya besok. Aku ingin terus bersama Ibu, menemani beliau, karena aku tidak tahu apakah bulan depan keluargaku akan tetap utuh.

"Dia perempuan yang membuatku bisa terus bekerja," ceritaku. "Keberadaannya memberiku motivasi untuk berkarya. Mendengar suaranya, aku ingin menjadikan dia penyanyi terkenal dan terbaik."

Ibu mengangguk kecil. "Suara Wendy bagus, ya? Ibu sudah dengar lagunya."

Padahal aku ingin memberitahu Ibu bahwa sebesar apapun rasa sukaku pada Wendy, bagiku perempuan terpenting dalam hidupku adalah beliau.

Pekerjaan kami sudah selesai seiring waktu berlalu. Semua piring sudah bersih cemerlang, meja dan kursi di restoran sudah rapi untuk kami tinggal semalaman. Aku menggantikan Ibu menutup dan mengunci semua pintu yang ada hingga kami berdua berada di luar restoran.

Angin musim gugur sudah cukup untuk membekukan tulang kami, karena itu kami berdua menggunakan jaket tebal untuk menghangatkan diri. Bintang-bintang terlihat berkelap-kelip pertanda ini akan menjadi malam yang cerah.

"Besok sebelum berangkat jemput temanmu itu, kamu mampir dulu ke restoran," ujar Ibu sambil tersenyum. "Akan Ibu siapkan sarapan untuk mereka."

Aku menggeleng cepat. "Nggak usah, Bu. Di kereta juga pasti mereka sudah makan. Ibu jangan memaksakan diri."

"Siapa juga yang memaksakan diri?"

Untuk usia beliau yang sudah menginjak setengah abad, Ibu masih mempertahankan watak keras kepala dan senang bekerja kerasnya. Dua hal inilah yang kemudian diwariskan juga padaku.

Kalau begitu, seharusnya aku memahami Ibu lebih dari siapapun, 'kan?

"Ibu, kenapa Ibu bisa jatuh cinta dan menikah dengan Ayah?" tanyaku memberanikan diri.

Before the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang