48

770 154 16
                                    

[ WENDY ]


Udara yang begitu menusuk. Salju yang turun dari langit. Uap air yang bercampur dengan gelapnya malam. Hari ini, sekali lagi, aku tiba di Hari Natal. Dan aku penasaran, keajaiban apa yang akan datang padaku?

Aku sudah sampai di tempat yang aku impikan. Berdiri di atas panggung yang megah dan bernyanyi di hadapan banyak orang. Sekumpulan keluarga, ratusan pasangan kekasih serta mereka yang mencari kehangatan di tengah musim dingin.

Apa tujuanku berikutnya? Salahkah diriku, jika hatiku masih menunggu seseorang?

"Wendy, tolong bukakan pintu,"

Bulu kudukku seketika berdiri. Suara yang memanggilku itu. Tidak salah lagi, itu adalah suara Suga. Produser sekaligus Direktur di perusahaan rekaman tempat aku bekerja saat ini.

Dengan segera aku membalikkan badan dan melihat tidak ada siapapun di belakangku. Rupanya Suga belum masuk ke ruang tungguku. Dia masih ada di balik pintu.

Haruskah aku membuka pintu? Aku masih tidak ingin menemui Suga. Tidak, aku tidak marah padanya. Hanya saja, aku belum siap menerima kenyataan bahwa Suga mencintaiku.

"Aku membawa sesuatu yang sangat berat, tolong bukakan pintu, Wendy," pinta Suga sekali lagi, kali ini suaranya terdengar sangat jelas.

Kakiku bergerak dengan sendirinya dan tanganku meraih kenop pintu, memberi akses masuk untuk Suga. Aku begitu terkejut saat melihat tumpukan kertas yang dibawa oleh Suga.

"Permisi, Wendy. Ini sangat berat," kata Suga sambil berjalan melewatiku dan meletakkan tumpukkan kertas tersebut di atas meja riasku.

Dan aku yang hanya bisa menatap punggung Suga, terdiam seperti patung. Dia terlihat begitu bisa diandalkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa aku sudah menghabiskan banyak waktu bersama Suga.

"Yeri sudah pulang?" tanya Suga kali ini sambil menatapku. "Kalau nggak salah, besok dia masih ada ujian, 'kan?"

Aku mengangguk. Bagaimana ini? Rasanya sangat canggung. Beberapa hari lalu, Suga menyatakan perasaan padaku. Jujur saja, sampai sekarang aku belum menemukan alasan yang tepat untuk menerima maupun menolak Suga.

"Bagaimana tadi di atas panggung?" tanya Suga kemudian tangannya bergerak untuk mengusap rambutku.

"Lancar, kok," hanya itu yang terucap dari bibirku.

Curang. Aku benci saat Suga membuatku tidak berdaya seperti sekarang. Dan yang membuatku bisa kembali kuat juga adalah Suga. Dia bersedia meminjamkan tangan, bahu, punggung, bahkan dadanya untukku.

"Ada yang ingin kutunjukkan padamu," ujar Suga dan tangannya menyodorkan sejilid kertas padaku. "Bacalah dan kamu pasti akan tahu apa ini."

Dengan tangan gemetar, aku menerima sejilid kertas tersebut. Rasanya aku pernah melihat sejilid buku yang disampul seperti ini. Ah, benar juga. Ini adalah naskah drama. Mengapa Suga menyerahkan naskah drama padaku? Tidakkah dia tahu kalau aku cukup lelah setelah bernyanyi untuk Konser Natal?

Wings Named You. Sayap yang Bernama Dirimu. Judul yang sangat unik dan dengan cepat menempel di pikiranku. Ditulis untuk sayembara SBS TV tahun 2017, semua hak cipta adalah milik SBS TV. Hmm, kalau tidak salah 'orang itu' juga bekerja di SBS TV.

Sinopsis. Seorang perempuan yang bertubuh lemah pasca kecelakaan dirawat di Rumah Sakit. Suatu hari, datang seorang laki-laki yang mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama  dan menyatakan perasaan pada perempuan tersebut. Laki-laki itu rela melakukan apa saja untuk mengabulkan impian perempuan itu.

Mendengar itu, sang perempuan meminta laki-laki tersebut mengajaknya ke Jerman untuk menonton Orkestra terbesar di sana. Semua orang berkata bahwa impian itu mustahil diwujudkan. Karena sang perempuan sudah tidak memiliki keluarga, sedangkan laki-laki tersebut masih duduk di bangku kuliah.

Tapi entah mengapa laki-laki tersebut berjuang sangat keras. Dia bekerja di banyak tempat, menjual benda-benda bagus yang sudah tidak ia butuhkan, demi membeli tiket pesawat ke Jerman. Sang perempuan yang sama sekali tidak tahu identitas laki-laki itu, berharap ia akan menyerah.

Perjuangan sang laki-laki tidak sia-sia, karena pada akhirnya ia berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah banyak dan membawa sang perempuan pergi ke Jerman bersama. Mereka pergi tanpa menghiraukan nasihat dokter yang berkata bahwa sang perempuan bisa meninggal kapan saja.

Mereka menghabiskan waktu di Jerman selama seminggu dan di hari terakhir mereka pergi untuk nonton Orkestra. Hal yang ditakutkan terjadi, sang perempuan meninggal saat menyaksikan orkestra. Dan di akhir cerita terungkap bahwa sang laki-laki itu adalah pacarnya sendiri, yang ia lupakan karena kecelakaan yang menyebabkannya amnesia.

Ya Tuhan, siapa yang membuat cerita seindah ini? Hanya dengan membaca sinopsis saja air mataku sudah tumpah.

Seakan bisa membaca pikiranku, Suga berkata, "Wendy, naskah itu ditulis oleh orang yang sangat kamu kenal. Di halaman terakhir, ada nama sang penulis naskah."

Tidak mungkin. Jangan katakan padaku bahwa yang menulis naskah ini adalah... Mark Tuan. Ya, nama Mark Tuan tertera dengan sangat jelas di halaman terakhir. Aku sudah membacanya berulang-ulang dan tetap nama laki-laki itu yang ada.

"Ini yang kamu tunggu-tunggu, 'kan?" tanya Suga sambil tersenyum padaku. Jari-jari Suga bergerak menyentuh pipiku dan mengusap air mataku. "Selama sembilan bulan ini, kamu menunggu naskah ini datang, 'kan?"

Aku menundukkan kepala. Aku menangis sesunggukan. Suga benar, ini adalah hari yang kutunggu selama ini. Naskah buatan Mark akhirnya datang padaku.

"Mark memintamu untuk mengisi soundtrack drama ini," ujar Suga begitu serius. "Kamu mau, 'kan? Aku nggak menerima penolakan."

Bagaimana aku harus menjelaskan perasaanku saat ini? Aku merasa kembali hidup. Aku merasa telah memenangkan pertempuran yang sangat panjang. Mark, kita berhasil. Kita benar-benar sudah berhasil.

"Dan dengan karir yang sudah kamu punya, aku pasti akan menciptakan lagu yang membuat soundtrack drama ini menjadi soundtrack terbaik sepanjang masa," lanjut Suga. "Wendy, kamu mau, 'kan?"

Aku tidak bisa menahan senyumku. "Iya, aku mau. Aku mau, aku mau! Terima kasih, Suga."

"Sama-sama," seperti biasa, Suga menarikku ke dalam pelukannya. "Kamu harus segera pulang ke rumah, 'kan? Orang tuamu pasti sudah menunggu—"

"Merry Christmas, Suga," kataku lembut.

Aku bisa merasakan debaran jantung Suga saat ia berkata, "Merry Christmas, Wendy."

Di Hari Natal ini, keajaiban datang padaku, di saat aku tidak tahu jalan hidup seperti apa yang akan kutempuh. Impianku terwujud dan kurasa aku sudah bisa membuka hati untuk orang yang mencintaiku.

Aku akan sangat berdosa jika aku lupa bagaimana cara membalas perasaan ini. Karena itu, izinkan aku berterima kasih. Terima kasih untuk keluarga yang selalu memberiku kehangatan. Terima kasih untuk sahabat yang selalu memberiku dukungan. Terima kasih untuk teman-teman yang selalu memberiku bantuan. Dan terima kasih untuk kalian yang selalu memberiku kasih sayang.

"Sudah selesai nangisnya?" tanya Suga sambil mengusap kepalaku. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang setelah itu aku mau kembali ke apartemen dan tidur."

Kuremas baju Suga dan menatap laki-laki itu sambil tersenyum. "Kamu nginap saja di rumahku. Kamu boleh tidur bersamaku."

Kalian tahu? Di kepalaku saat ini penuh dengan sebuah to-do-list tentang impianku. Tapi yang akan pertama kali aku lakukan sekarang adalah menerima kehadiran Suga di dalam hatiku.

Sepenuhnya.

Before the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang