[ WENDY ]
Irene benar-benar mengerti diriku, lebih dari aku mengerti diriku sendiri.
Setelah membiarkanku ikut mendengarkan percakapannya dengan Suga, Irene menciptakan kesempatan agar aku bisa bicara berdua saja dengan Suga.
Begitu Suga meninggalkan ruangan Irene, aku dan Sungjae—manajerku—keluar dari lemari pakaian, tempat kami bersembunyi. Jangan tanya bagaimana aku bisa tahan berdiam di sana. Kami sangat kesulitan bernafas.
Tapi semua itu sudah tidak penting. Sekarang aku sedang mengejar Suga yang sudah meninggalkan kantor LIZ sejak lima menit lalu. Laki-laki itu mengendarai mobilnya turun ke jalan sementara aku berhati-hati mengikutinya dari belakang menggunakan taxi. Aku tidak tahu ke mana Suga akan pergi tapi aku percaya padanya.
Iya, aku masih percaya pada Suga. Bagaimana tidak? Dia sudah menolongku berkali-kali. Dia sudah membiarkanku berpetualang, memperbaiki diri, berjumpa dengan banyak orang, dan membuatku menerima begitu banyak kebahagiaan.
Aku tidak mungkin mengkhianatinya setelah semua yang dia lakukan untukku.
Dan hari ini... Ke mana Suga akan membawaku?
Suga memang misterius. Sejak pertemuan pertamaku dengannya, aku sudah merasa Suga sangat aneh sehingga aku membangun antisipasi. Seperti apa yang kukatakan seandainya kami bertemu, apa yang kulakukan seandainya dia tidak meresponku, dan sebagainya.
Tapi sekarang segala bentuk antisipasi itu seakan hilang dari ingatanku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan atau kulakukan setelah ini.
Entah apa yang ada di pikiran Suga saat ini, aku tidak tahu. Apa dia sedang memikirkan cara untuk menghadapiku?
Padahal dia tidak perlu buru-buru seperti ini. Kami baru berdebat beberapa jam yang lalu, bukan? Aku ingin dia memikirkan semua hal dengan matang sebelum bicara lagi denganku. Aku sudah cukup tersakiti dengan perkataannya hari ini.
Aku hanya ingin Suga yang dulu kembali. Dan aku sanggup menunggu sampai kapanpun.
Dua puluh menit kemudian, samar-samar aku mengenali jalan yang sedang aku lalui. Aku pernah melewati tempat ini sebelumnya, tepat setelah aku menyatakan untuk berhenti bekerja di Café Hometown.
Ingatanku tentang malam itu begitu membekas. Saat itu aku menangis seorang diri dan tidak tahu harus pergi ke mana jika saja aku tidak menerima telepon dari Suga yang menyuruhku datang ke tempat ini.
Tempat ini adalah apartemen Suga.
Mobil Suga perlahan turun ke basement, membuatku memberhentikan taxi tepat beberapa meter sebelumnya. Udara malam ini begitu dingin dan menusuk hingga aku ingin menangis.
"Nona, ini kembaliannya," ujar sang supir menyerahkan beberapa lembar uang. Kemudian dia mengambil beberapa lembar tisu dari sampingnya dan memberikannya padaku. "Bawa ini juga."
Baiklah, tisu memang penting tapi jangan sampai aku menggunakannya.
Aku menunggu sekitar sepuluh menit sebelum memasuki gedung apartemen dan pergi menuju lantai tempat Suga tinggal. Suasana tempat ini begitu wajar sehingga aku mulai panik. Bagaimana jika aku tidak berhasil memenuhi harapan Irene? Harapan untuk cepat berbaikan dan damai.
Air mataku menetes saat aku berada di dalam lift dan aku buru-buru menghapusnya. Kali kedua aku datang ke apartemen Suga, kali kedua juga aku menangis di tempat yang sama.
Ya Tuhan, aku cengeng sekali. Apa aku tidak berbakat untuk berpura-pura tersenyum?
Lift berhenti di lantai yang aku tuju dan sambil menarik napas, aku melangkah menuju kamar apartemen Suga. Aku berdoa, semoga isi hatiku tersampaikan dengan baik. Tentang apa yang aku mau dan tentang apa yang aku inginkan dari Suga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before the Concert ✔️
Fiksi Penggemar[ COMPLETED ] 'Sequel dari After the Concert' Kembali pada waktu sebelum konser, di mana Suga berusaha membuat Wendy selalu tertawa. Ini kisah tentang dua manusia yang berusaha hidup bersama di Seoul. Dua manusia yang bertemu secara tidak sengaja ka...