[ SUGA ]
Musim Gugur, musim di mana daun-daun berubah menjadi cokelat dan berguguran dari dahannya. Musim di mana setiap hari kita was-was karena daun-daun tersebut. Karena jika semua daun sudah menginjak tanah, salju akan turun dan mengubah pijakan kita menjadi putih.
Setiap hari, udara semakin dingin. Kita akan berusaha pulang secepat mungkin untuk mencari kehangatan. Di balik selimut, di depan perapian, ataupun di pelukan seseorang yang kita sayang.
Keluargaku adalah yang paling aku sayangi di dunia. Mereka menerimaku apa adanya, menyediakan apapun yang kubutuhkan, dan memberiku kasih sayang yang begitu dalam.
Membuatku merasa berharga telah lahir ke dunia ini.
"Sudah pulang? Cepat sekali," ujar suara itu.
Aku menutup pintu rapat-rapat, melepas sepatu, dan menghampiri sumber suara. Ibu sedang menghitung penghasilan yang beliau peroleh bulan ini, di meja makan. Ibu memakai kacamata, tangan sebelahnya sibuk dengan kalkulator, satu tangan lagi menggenggam pulpen begitu erat.
Pukul tujuh malam dan Ibu sudah ada di rumah.
"Ibu juga cepat," kataku sembari menarik kursi untuk duduk.
"Restoran sudah diurus Sora dan Sungkyung. Kamu sudah makan?" tanya Ibu kemudian aku mengangguk.
Aku baru saja selesai mengantar Wendy dan keluarganya ke Hotel, setelah membawa mereka mengunjungi tempat wisata di Daegu.
Suasana hatiku memang sedang campur aduk, tapi berkat Wendy, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Aku akan berbicara dengan Ibu sekali lagi dan meminta kerja sama beliau untuk membatalkan perceraian ini.
Sekali lagi. Berikan aku satu kesempatan terakhir untuk memperbaiki semuanya.
"Terima kasih untuk sarapan tadi pagi," ucapku berbasa-basi. "Keluarga Wendy suka sekali."
"Sama-sama," balas Ibu. "Syukurlah kalau begitu."
Selama keluargamu lengkap, pertahankanlah. Pastikan yang bisa memisahkan keluargamu hanya kematian.
Itulah yang Wendy katakan padaku. Dengan nada yang begitu tegas, kalimat itu terucap begitu saja dari bibir perempuan itu. Dan aku merasa sangat bersyukur bisa mendengar kalimat seperti itu di saat aku hampir melepas genggamanku pada sang tekad.
"Ibu, ada yang ingin kubicarakan. Tolong dengarkan aku," ucapku memohon.
Dengan segera, Ibu meletakkan pulpennya. Tangan beliau kemudian terlipat di atas meja dan tatapan beliau yang tampak lelah terarah lurus padaku.
Apa aku pernah bilang pada kalian bahwa aku mewarisi mata Ibuku? Setiap kali aku berbicara empat mata dengan Ibu, aku merasa seperti sedang bercermin.
"Apa Suga?" tanya Ibu. "Apa kamu sudah mengambil keputusan tentang wajib militermu—"
"Aku mau kita kembali seperti dulu," ungkapku. "Aku nggak suka dengan keadaan kita sekarang. Aku mau melihat Ayah dan Ibu bersama."
Ibu tersenyum tipis. Aku tidak bisa menerka apa arti senyuman Ibu. Yang aku tahu, tanganku yang kuletakkan di atas pahaku, bergetar begitu hebat sambil aku memikirkan apa yang harus kuungkapkan setelah ini.
"Permintaanmu seperti anak kecil saja," sahut Ibu. "Kamu sudah bukan anak kecil yang perlu ditemani Ayah dan Ibu, 'kan?"
"Justru itu," ujarku meyakinkan. "Justru karena aku bukan anak kecil, aku sudah sangat memahami Ayah dan Ibu. Aku paham betapa bahagianya orang tuaku kalau sedang bersama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Before the Concert ✔️
Fanfic[ COMPLETED ] 'Sequel dari After the Concert' Kembali pada waktu sebelum konser, di mana Suga berusaha membuat Wendy selalu tertawa. Ini kisah tentang dua manusia yang berusaha hidup bersama di Seoul. Dua manusia yang bertemu secara tidak sengaja ka...