BAB 12 : Makan Malam

12.2K 710 25
                                    

Hilwa dan juga Eriska mengganti pakaian Via. Setelah beberapa lama saat kemudian, akhirnya Via sadar. Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit, Via berharap bahwa itu hanya mimpi buruk, namun kenyataannya itu adalah kenyataan.

"Aww...," rintih Via kesakitan memegangi kakinya.

"Vi.. Alhamdulillah lo udah bangun," kata Hilwa membantu Via untuk duduk.

Saat Via menatap ke depan, dia kembali menjerit karena melihat anak kecil itu sedang berdiri di depannya. Menatapnya penuh dengan kebencian. Wajahnya hancur, sama seperti saat terakhir dia lihat di kamar mandi.

"Aaaaaa...!"

"Vi, lo kenapa?" tanya Hilwa melihat ke arah yang dilihat oleh Via.

"Pergi! Jangan ganggu gua! Pergi!" teriak Via menutup mata dengan kedua matanya sambil menangis.

"Via! hei sadar, Vi! di sana nggak ada siapa-siapa!" seru Hilwa berusaha membuat Via tenang. Via membuka kedua matanya dan benar saja tak ada siapapun. Via melihat segala sisi kamar dan lega karena anak kecil itu telah menghilang. Via berusaha membuat dirinya menjadi tenang, tapi degup jantungnya masih berdetak cepat. Via tidak ingin membuat dirinya menjadi ketakutan dan semuanya menjadi khawatir terutama Lorenzo.

"Ris, panggilin anak cowoknya dong, suruh mereka ke sini," pinta Hilwa pada Eriska.

Eriska mengangguk lalu pergi menghampiri yang lain. Beberapa saat kemudian, Eriska dan semuanya sudah datang. Lorenzo tampak cemas dengan keadaan Via. Dia duduk di tempat tidur dan berada di sebelah Via.

"Sayang, kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Apa yang terjadi sama kamu?" tanya Lorenzo membelai rambut Via dengan lembut. Via hanya diam, wajahnya seperti orang yang ketakutan dan juga trauma, bibirnya gemetar sedang wajahnya pucat karena mengingat kejadian mengerikan. Via tidak bisa menahan rasa ketakutannya lagi. Seberapa kuat dirinya, Dia tetap saja kejadian tadi, hampir merenggut nyawanya.

"Gua mau ngobrol berdua sama Via, yang lain tolong keluar dulu dong," kata Eriska dengan nada dingin.

"Yaelah.. emang kenapa kalo ramean sih?" sahut Reza tak peduli.

"Gua nggak mau ninggalin Via " tolak Lorenzo dengan tatapan tajam.

"Ya udah, kalo lo nggak mau ninggalin dia nggak kenapa-kenapa, yang lainnya gua mohon keluar dulu," kata Eriska tenang.

Akhirnya, mereka keluar dari kamar dan yang tertinggal hanya ada Eriska, Via, dan juga Lorenzo. Eriska mendekati Via dan berusaha untuk membuatnya menjadi tenang. Eriska mengerti bahwa yang di alami Via begitu berat, namun dia tidak ingin jika Via harus terus merasa ketakutan seperti ini.

"Vi, gua tau lo diapain aja sama anak itu. Tapi Vi, kalo lo ketakutan kayak gitu dia justru makin senang buat nyiksa lo," kata Eriska dengan lembut kepada Via.

"Gimana gua nggak takut! Dia terus-terusan banting tubuh gua! Dia buat air shower jadi panas! Tubuh gua serasa terbakar! Darah bercucuran dari atap dan gua nggak tau darah siapa itu. Anak kecil itu terus tertawa seakan-akan dia sedang bermain! Dia menyiksa gua! Wajahnya menakutkan! Gua takut, Eriska!" teriak Via marah dan tak lama kemudian, dia menangis. Lorenzo memeluknya berusaha membuat Via untuk tetap tenang.

"Lo jangan takut, sekarang gua ada di sini," bisik Lorenzo berusaha membuat Via lebih tenang.

"Gua juga tau kok kalo anak itu memang kejam. Apa lo pikir gua nggak takut? Gua juga takut, Vi. Udah dari awal, kan gua bilang, jangan masuk ke sini karena dia nggak suka dengan kehadiran kita," kata Eriska menggebu-nggebu.

"Lorenzo, gua takut," kata Via gemetar.

"Gua minta maaf, Vi. Gua nggak bisa jaga lo dengan baik, gua benar-benar minta maaf," kata Lorenzo mencium puncak kepala Via.

Villa Cempaka [SELESAI REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang