12

13K 702 25
                                    

-Violet Pov-

"Guys! Bu Lestari jam ke 7-8 ada rapat. Tugasnya udah di share grup kelas ya!" kata Fachri selaku ketua kelasku.
"Yaaash akhirnya pelajaran Matika jamkos!!!" teriak salah satu teman sekelasku. Seketika suasana kelasku ribut tak karuan.

Ini udah 3 hari semenjak Rayna memberiku cincin itu. Dan selama itu, kurasa hubungan kami disekolah jadi makin dekat. Kalau sebelumnya kami cuma sebatas tersenyum apabila berpapasan, sekarang tidak. Tiga hari terakhir, aku dan Rayna jadi terlihat seperti teman akrab yang sudah lama kenal. Kadang dia bercanda dan memelukku, atau menutup mataku dari belakang saat aku tidak menyadari keberadaannya, atau menggandeng tanganku saat aku hanya berdua dengannya.

Oiya, sekolah kami memang membatasi penggunaan perhiasan. Jadi, baik aku maupun Rayna tidak memakai cincin itu disekolah. Tapi sebagai gantinya kami sengaja menambahkan tali pada cincin tersebut dan mengenakannya sebagai kalung. Yaaah itu ide Rayna sih sebenernya. Aku cuma bisa berharap salah satu dari kami tidak ketahuan oleh guru maupun anak-anak OSIS.

Hmmh.. Anak-anak kelasku masih ramai gara-gara jamkos tadi. Jarang-jarang kan pelajaran matematika yang sering membuat kepala menjadi berasap itu kosong.

Biasanya di waktu-waktu kaya gini aku lebih memilih main HP, tapi sekarang benda yang memiliki seperempat jiwaku sedang dicharge. Aku pun memutuskan untuk keluar. Tak lupa aku membawa buku novel yang baru kemarin aku pinjam di perpustakaan sekolah.

...

Kini aku bersandar di balik pohon rindang yang berada di halaman belakang sekolah sambil membaca novelku tadi. Suasana nyaman, meskipun temperaturnya agak panas. Keadaan di lingkungan sekitar juga sangat sepi, tentu karena ini masih jam pelajaran.

Namun disela-sela aku membaca novel, terdengar suara seseorang memanggilku.

"Violet!!" dia mendekat. Aku hanya menatapnya.
"Hey! Masih inget aku?" tanyanya.
"Umm.. Kakak yang waktu itu......nembak aku ya?" kulihat dia terkekeh.
"Iyaa.. Hmm.. Kamu sendiri aja?"
"Iya" jawabku sekenanya.
"Ehem. Mumpung suasananya pas, aku mau ngomong penting sama kamu." sepertinya ekspresinya menjadi lebih serius.
"Mau ngomong apa?" tanyaku
"Well,, kamu inget hari dimana kamu nolak aku?" aku cuma mengangguk menjawab pertanyaannya. Masih mengira-ngira apa yang ingin disampaikannya.

"Kamu tau, sejak hari itu aku selalu berusaha meyakinkan diriku kalau kamu emang bukan ditakdirin buat aku."

"Tapi ternyata, semua usahaku selama ini sia-sia. Setiap aku ngeliat kamu, hatiku selalu tersenyum. Jantung ini juga selalu berdebar kalau aku inget kamu." lanjutnya sambil mengepalkan tangannya tepat di dada sebelah kirinya.

"Jadi, mau nggak mau, kamu harus pacarku. Ya?" aku menggelengkan kepalaku.

"M-maaf. Tapi aku nggak bisa." jawabku.

"Kenapa?" intonasinya benar-benar datar
"Jangan bilang kalau kamu udah punya pacar?" aku mengangguk pelan.

Dia mendekat kearahku dan mencondongkan badannya. Aku terjebak. Di belakangku terdapat pohon yang tadi aku buat senderan. Helaan nafasnya menerpa wajahku.

"Apa yang ngebuat kamu lebih pilih pacar kamu? Apa yang dia punya dan aku nggak punya? Apa kekuranganku?! Aku lahir di keluarga kaya, papa aku pemimpin perusahaan besar dan abis aku lulus nanti aku bakal pimpin perusahaan itu. Aku bakal punya kedudukan yang tinggi. Disekolah ini nggak ada yang bisa menentang aku. Kenapa? Karena papa aku merupakan pemegang saham terbesar di sekolah ini. Soal tampang? Bahkan kalau kamu tanyain ke cewek-cewek di sekolah ini satu per satu, mungkin nggak ada yang bilang kalau aku jelek. Terus apa yang buat kamu nolak aku hah?!!"

Nyaliku menciut mendengar bentakannya. Tanpa sadar, keringat dingin mengucur di pelipisku.

"Aku nggak akan bentak kamu lagi kalau kamu nurutin aku. Aku nggak akan maksa kamu ini itu kalau kamu menuruti permintaanku."

I'M STRAIGHT!✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang