Di kelas XI MIPA 1
Matahari tangah terik-teriknya. Membuat para siswa mengalih fungsikan buku menjadi kipas. Tak sedikit siswa pria mengibas-ngibaskan bajunya gerah.
Bu Diana masuk membawa seorang siswa cowok yang sangat asing bagi mereka.
Penampilannya rapi dan potongan rambutnya keren.
"Anak-anak, kelas kita kedatangan murid baru. Dia baru saja pindah dari kalimantan. Silahkan perkenalkan diri kamu."
Cowok itu membungkukkan badannya sopan di hadapan Bu Diana, kemudian menghadapkan dirinya ke para siswa.
"Nama saya Hendra. Hendra Dirga Saputra. Alamat nggak jauh dari sekolah ini. Dan saya pindah karena tuntutan pekerjaan ayah saya sebagai tentara. Salam pertemanan."
Hendra tersenyum sebagai sapa perjumpaan kepada mereka."Karena hanya ada satu bangku kosong di kelas ini, jadi nggak keberatan Hendra sebangku sama cewek?"
"Enggak masalah Bu."
"Baik. Silahkan duduk."
Nabila memberikan senyum yang lebih cepat dari sedetik ke hadapan Hendra. Ia tak mau cowok itu menganggap dirinya terlalu sombong.
Dua jam berlalu begitu cepat. Suara bising percakapan terdengar dimana-mana. Nabila tidak pernah berniat untuk pergi ke kantin.
Ia lebih memilih diam bersama novel-novelnya di kelas. Keributan hanya akan membuatnya pusing.
Namun, cowok di sampingnya membuat Nabila menjadi risih. Sejak tadi cowok itu tak berhenti mengamatinya. Ia mungkin saja tidak konsen dengan cerita dalam novelnya.
"Kenapa sih ngeliatin Nabila terus."
Sama seperti 7 tahun terakhir, Nabila memilih mengumpatkan suara dari mulutnya.
Pelan namun pasti, kini ia lupa cara komunikasi dengan orang.
Kata-katanya selalu saja terucap dalam hatinya. Mungkin bisa di hitung berapak kali ia bicara dalam setahun.
Namun, cowok di sampingnya hanya nyengir. Membuat Nabila menatapnya aneh.
"Kenapa?"
"Ngapain cengar-cengir?"
"Hahaha. Lo lucu."
Nabila memilih bungkam. Ia tidak peduli cowok di sampingnya akan mengatainya apa.
Nabila sudah biasa menerima segala omong kosong selama 7 tahun ini.
7 tahun yang cukup menjadi derita baginya. 7 tahun yang membuat dunianya berubah.
Ia seperti bukan lagi tinggal di bumi. Rasanya, ia ingin mengganti oksigen sebagai asupan nyawanya.
Jika mars memang benar bisa di tempati, mungkin saja dia telah melakukan kehidupannya di sana.
Sendiri. Bersama kopi pahit yang telah menjadi kesukaannya.
Pahit seperti kehidupannya.
"Aduh. Haus banget lagi."
Hendra berdiri dan pergi entah kemana. Nabila menjadi lebih puas bernafas. Meregangkan otot-ototnya yang sudah sejak tadi menegang.
Namun, semunya berubah lagi, cowok itu datang dengan membawa dua botol mineral di tangannya.
"Nih minum."
Nabila membelalakkan matanya. Baru tiga menit yang lalu ia berbicara haus dan kini cowok baru ini datang memberinya minuman. Mungkin hanya sebuah kebetulan.
"Makasih." ucapnya tanpa senyum.
Entah mengapa Nabila merasa ada sesuatu yang aneh dengan cowok baru ini. Ia berbeda dengan orang-orang lain, termasuk dirinya. Bukan sebuah perasaan suka.
Dia sungguh misterius. Menjawab pertanyaan Bu Diana dengan begitu cepat membuat Nabila seolah tak percaya dengan kecerdasan apa yang menguasai otaknya.
Dan kini ia merasa cowok ini tau semua apa yang sedang ia pikirkan.
Mungkin orang cerdas memang begitu.-----
Ditulis: 9 Maret 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Say In Heart
Teen Fiction#12 - Sendu (6 Desember 2018) Sebuah cerita cinta dipadu oleh seorang indigo yang tak bisa henti membaca pikirannya Orang bilang aku terlalu cantik untuk jadi gadis cuek. Orang bilang aku terlalu pintar untuk jadi gadis nyebelin. Orang bilang aku te...