4. Murid Baru Itu...

42 17 3
                                    

Kia berjalan mendekat, membuat ketiga orang yang ada disana memfokuskan pandangan kearahnya. Ragu-ragu ia mengulurkan tangan untuk menyalami kedua orang tuanya, walau terlihat enggan sang ayah tetap menerima uluran tangan Kia sedangkan bunda hanya bersikap biasa saja.

Tak lama kemudian Ken datang dan melakukan hal yang sama kepada orang tuanya

"Dari mana kamu?" Bukan, ayahnya bukan bertanya pada Kia tetapi kepada Abangnya

Ken lebih dulu menatap Kia yang hanya menundukkan wajah sebelum menjawab

"Abis ajak Kia jalan yah, inikan hari terakhir Kia libur"

Ingin rasanya Kia memeluk Ken, abangnya itu rela berbohong demi melindunginya

"Ko Kinan gak diajak sih bang" Kinan berdiri, merangkul lengan Ken dan membawanya duduk disampingnya

Pemandangan indah yang lagi-lagi menyayat hati Kia. Ayah, Kinan, Ken dan bunda duduk di sofa yang memang diperuntukkan untuk empat orang. Benar-benar terlihat seperti keluarga yang bahagia.

Apa yang Kia harapkan? Sedari awal memang tidak ada tempat untuknya. Bisa tinggal dirumah ini saja adalah hal luar biasa yang harus ia syukuri.

Mereka berempat kembali berbincang tapi Kia tak begitu mendengarkan. Ia masih berdiri ditempatnya, menampik rasa iri yang kembali muncul dihatinya.

Kiara tak sekuat itu, walau dia bilang akan menghilangkan sedikit demi sedikt rasa irinya namun saat melihat apa yang selama ini tidak dia dapatkan tetapi dimiliki oleh sang kakak membuat rasa itu datang kembali.

Kia menghembusakan nafas pelan, menahan rasa sakit yang akan membuat luka semakin dalam.

Perlahan Kia mengangkat wajahnya, ia ingin mengatakan sesuatu yang harusnya sudah ia sampaikan sejak tadi

"Ayah" dengan suara yang amat pelan, ia memanggil ayahnya yang masih asik berbincang. Membuat mereka kembali memusatkan perhatian kearahnya.

"Loh, Kia masih disini?" Pertanyaan Kinan membuat Kia tersenyum miris

Memangnya sejak kapan ia terlihat, Dia itu kan makhluk tak kasat mata di rumah ini

Kia mengabaikan pertanyaan Kinan, memilih kembali menatap sang ayah yang terlihat enggan menatapnya. Ia mencengkram erat tali tasnya, saat gugup dan rasa takut menguasai rasanya sangat sulit untuknya mengeluarkan suara.

Lagi Kia menghembuskan nafas pelan sebelum kembali melanjutkan

"Hmm.. yang semalam.. itu hmm.. ayah Kia.. minta maaf" berantakan, susunan kata macam apa itu yang ia gunakan.

Padahal ia sudah menyusun kata-kata sejak pulang dari rumah Dinda tadi, tetapi kenapa yang keluar malah kalimat acak-acakan seperti itu

Cukup lama ia menunggu respon dari sang ayah, sampai akhirnya ayahnya berdehem untuk menjawab permintaan maafnya

Ingat hanya berdehem, kemudian ayahnya kembali menonton televisi. Sungguh miris sekali, saat dirasa tak akan ada lagi respon dari sang ayah, Kia memutuskan untuk pergi ke kamarnya.

Ahh, Kamarnya memang tempat terbaik untuk menenangkan diri, dari pada terus ada disana tetapi tak terlihat keberadaannya lebih baik ia istirahat saja.

¤¤¤¤

Kia turun dari angkutan umum yang membawanya hingga sampai didepan gerbang sekolah. Hari pertama masuk sekolah setelah libur semester yang menurut Kia sangat lama membuat ia bahagia.

Tempat ternyaman kedua setelah kamarnya adalah sekolah, dimana ia bisa melupakan sejenak masalah hidupnya dan bebas tertawa dengan teman-temannya.

Kia melangkah memasuki area sekolah, sudah jelas tujuan pertamanya adalah kantin. Ia dan keempat temannya memang selalu datang lebih pagi agar bisa sarapan dikantin sekolahnya dan itu semua atas suruhan Kia yang memang tidak pernah sarapan dirumah.

About FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang