23. Cerita Kiara (2)

26 3 0
                                    

Delapan Tahun yang lalu

Suasana berduka sedang dirasakan Kiara dan keluarganya. Kiara termenung disudut kamar, menatap lama figura yang menapilkan foto dirinya dan sang kakek.

Pemakaman selesai dilaksanakan satu jam yang lalu, beberapa pelayat sudah kembali ke kediaman masing-masing. Selama proses pemakaman Kia tak berhenti menangis, sejujurnya ia tak sanggup berada disana. Melihat kakek tersayangnya ditimbun dan membawa serta kenangan mereka terkubur bersamanya menyisakan sesak dihati Kia. Sungguh Kia belum ikhlas jika harus berpisah dengan sang kakek saat ini.

Berat baginya kehilangan Kakek yang selalu menjadi penopangnya, pengganti sosok ayah dalam hidupnya. Bukan berarti Kiara tak punya ayah, iya punya. Hanya saja, tidak tinggal ditempat yang sama membuat Kia memiliki hubungan yang renggang dengan orang tuanya.

Kia selalu merasa ada jarak antara dirinya dan orang tuanya. berbeda saat ia bersama oma dan kakeknya, ia bebas bercerita, meluapkan segala sesuatu yang ada dalam fikirannya. Namun saat berdekatan dengan ayah dan bunda, Kia selalu merasa canggung.

Kia ingat, saat Kia berusia lima tahun, orang tuanya akan datang setiap liburan sekolah. Sekedar menitipkan kedua kakaknya untuk berlibur di rumah oma dan kakeknya agar bisa menemani Kia bermain. Lalu setelah liburan berakhir, mereka kembali datang untuk menjemput kakak-kakaknya. Kia fikir saat orang tuanya mengajak Kinan dan Ken pulang, ia juga akan ikut serta bersama mereka. Tapi hingga kini, hingga usia Kia menginjak sembilan tahun. Orang tuanya tak pernah mengajak Kia untuk tinggal bersama. Sesungguhnya, terselip rasa kecewa dihati Kia saat bunda hanya memanggil nama Kinan dan Kenrick untuk diajak pulang bersama mereka, tapi Kia berusaha menampik hal itu. Terlebih saat oma bilang, bahwa Kia akan tinggal bersama mereka ketika masalah ayah dan bundanya selesai. Jadi, Kia selalu berusah menunggu dengan sabar.

Kia meletakkan kembali figura yang ia pegang ketempat semula, tangannya menghapus jejak-jejak air mata yang ada dipipinya. Ia melangkah menuju kamar omanya, ada sesuatu yang ingin ia katakan.

Kia menghentikan langkahnya di depan pintu kamar sang nenek saat melihat celah pintu yang sedikit terbuka. Sayup-sayup terdengar suara sang bunda dari dalam sana.

"Gak bisa mah, keadaan fisik Kinan masih lemah. Asmanya juga masih sering kambuh. Aku sama mas Anto masih harus fokus ke Kinan, Kenrick juga sudah mau ujian. Aku bener-bener harus merhatiin mereka saat ini. Aku belum bisa bawa Kiara pulang"

"Tapi keadaan butik kamu sudah mulai stabil kan Eryana, masalah kantor Anto juga sudah mulai membaik. Fokus kamu sudah gak perlu terbagi antara merawat anak dan pekerjaan. Harusnya kamu sudah bisa membawa Kiara pulang dan merawatnya"

"Gak bisa mah, walaupun butik Eryana sudah stabil tapi tetep aja Eryana harus perhatiin butik Ery. Lagipula Eryana masih harus fokus memperhatikan kesembuhan Kinan dan kelulusan Kenrick. Kalo Kia Ery bawa sekarang, Eryana gak janji bisa kasih perhatian sama Kiara. Kita juga gak bisa mempercayakan Kia dirawat dengan pengasuh"

"Tapi Kiara juga anak kamu Eryana, dia ingin tinggal sama kamu, ayah dan kedua kakaknya"

"Eryana tau mah, tapi Eryana belum bisa. Bukannya waktu Ery hamil Kiara, Eryana sudah bilang kalo Eryana gak bisa mempertahankan janin itu? Kia hadir diwaktu yang gak tepat. Eryana belum siap punya anak lagi disaat rumah tangga Eryana lagi ditimpa masalah. Tapi mamah yang maksa Ery untuk tetep mempertahankannya dengan janji kalau mamah yang bakal jaga Kiara. Terus kenapa sekarang mamah maksa Ery untuk bawa Kiara pulang?"

Kiara tak lagi mendengarkan perdebatan antara oma dan bundanya, ia lebih memilih melangkah menjauhi kamar itu. Mungkin Kia belum dewasa, tapi ia tidak bodoh untuk mengetahui maksud dari perkataan bundanya. Kia tak mau lagi berharap untuk bisa tinggal bersama orang tuanya. Tinggal bersama omanya sudah lebih dari cukup, saat ia tau bahwa ia adalah anak yang tak diinginkan.

Kia tak mau berharap terlalu tinggi, jika pada akhirnya menghasilkan luka yang tak bisa diobati. Dan kini, Kia akan menghapus mimpi yang berakhir menyakiti.

Tak ada lagi harapan untuk bisa tinggal bersama dengan orang tuanya dalam doa Kiara, karena yang Kia minta pada Tuhan mulai saat ini adalah dipanjangkannya umur sang nenek agar mereka bisa terus bersama hingga Kia dewasa.

¤¤¤¤

Dion menatap wajah sendu Kiara, setelah mendengarkan cerita gadis itu dalam diam. Tak ada air mata, tapi Dion bisa melihat mata Kia berkaca-kaca dan Dion tau bahwa Kiara menahan tangisnya sejak tadi.

Langit sudah mulai gelap, tapi mereka masih belum ingin beranjak. Menikmati semilir angin yang menerpa wajah mereka. Dion merapikan anak rambut Kia yang berantakan, ia menyelipkannya dibalik telinga gadis itu.

"Kenapa gak nangis?" Dion bertanya saat melihat Kia berusaha menahan tangisannya.

"Capek. banyak orang juga, malu kalo nangis" Dion terkekeh "Tadi di SeaWorld nangis kejer biasa aja" Kia mengerucutkan bibirnya mendengar perkataan Dion.

Dion membawa kepala Kia agar bersandar dibahunya "Nangis aja, ada bahu aku untuk kamu bersandar" Kia menampilkan ekspresi ingin muntah mendengar ucapan Dion "Sok romantis!" Ujarnya sambil bergidik geli.

Lagi-lagi Dion terkekeh melihat tingkah Kiara, setidaknya Kia sudah kembali bersikap biasa dan melupakan kesedihannya.

"Tapi sekarang kamu udah tinggal sama orang tua kamu"

"Kamu tau, manusia itu gak hidup selamanya. Seberapa sering aku berdoa, meminta dan memohon sama Allah supaya oma dikasih umur yang panjang. Pada akhirnya Allah yang menentukan segalanya. Allah lebih sayang oma, makanya Allah ambil oma. Oma meninggal waktu aku kelas dua SMP dan itu masa-masa terpuruk aku Yon, makanya mereka bawa aku tinggal sama mereka. Kalo oma masih ada, mungkin aku masih tinggal sama oma sampai sekarang. Dan mungkin juga aku gak akan ketemu sama kamu"

"Siapa bilang? Walau kamu masih tinggal sama oma, kita juga pasti bakal ketemu. Kan aku udah bilang, seperti kata Afgan ~jodoh pasti bertemu~" Kia mendengus.

"Kamu mah kata Afgan mulu, bosen aku tuh dengernya" Dion tertawa melihat wajah kesal Kiara.

"Ki"

"Hmm"

"Kalo dulu oma sama kakek yang jadi tempat kamu cerita segala sesuatu yang ada dalam fikiran kamu. Sekarang, ada aku tempat untuk kamu luapin segala keluh kesah dalam hidup kamu Ki. Jangan sungkan, kamu bisa cerita apapun sama aku. Karena aku pasti bakal dengerin semua cerita kamu, bahkan cerita membosankan sekalipun" Kia tersenyum mendengar ucapan Dion, sebelum akhirnya mendengus kesal begitu mendengar kalimat lanjutan dari cowok itu "walau mungkin, aku bakalan tidur saking ngantuknya denger cerita kamu"

"Sue!!" Dan Dion kembali tertawa geli saat melihat wajah kesal Kiara yang terlihat menggemaskan dimatanya.

.
.

Mohon maaf jika banyak kesalahan.

About FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang