24. Pajak Jadian

28 3 1
                                    

Dion melangkah ke balkon kamarnya, tempat ternyaman untuknya merenung. Memikirkan kembali cerita Kia, Dion benar-benar tak menyangka jika hubungan Kia dan orang tuanya tidak seharmonis yang ia kira.

Kini, ia tau alasan mengapa tak ada foto Kia dalam figura yang tertempel diruang tamu rumah Kiara. Jika difikir lagi, kenapa ada orang tua yang mengabaikan anaknya? Bukankah melahirkan seorang anak harus mempertaruhkan nyawa seorang ibu? Lalu kenapa saat anak itu lahir malah dicampakkan seperti itu? Dion benar-benar tak habis fikir.

Mamahnya bilang, apa yang dilakukan seseorang pasti memiliki alasan. Tapi baginya, alasan orang tua yang mencampakkan anaknya karena orang tua itu tidak memiliki rasa sayang pada anaknya. Walaupun berulang kali mamahnya menyuruh untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, tetap saja Dion lebih mempercayai apa yang ada dalam pikirannya.

Mendengar cerita Kia, membuat ia bertanya-tanya. Haruskah ia merasa bersyukur dengan keadaannya yang tak jauh berbeda?

"Belum tidur lo?" Sebuah suara memutus pikiran-pikiran yang ada dikepalanya. Dion menoleh, hanya untuk melihat kakaknya yang sedang menghembuskan asap rokok tepat disampingnya.

Kamarnya dan kamar kakaknya memang bersisian dan memiliki satu balkon yang sama.

"Ngerokok lo?"

"Lagi pengen" Alex menjawab tak acuh, kakaknya itu memang perokok. Tapi hanya diwaktu-waktu tertentu. Biasanya, kakaknya akan merokok untuk menghilangkan penat.

Dion juga pernah mencobanya, pergaulan dan rasa penasaran yang mendorong Dion untuk menyicip bagaimana rasa sebuah rokok. Sesuatu yang sangat digilai banyak orang, tanpa memperdulikan dampak negatif yang ditimbulkan. Dua kali mencoba barang itu sempat membuatnya ketagihan. Tapi memang nasibnya yang sial, saat ia ingin mencobanya lagi, papahnya memergokinya dan ia harus rela kehilangan uang saku selama satu minggu.

Papahnya bilang, merokok itu pilihan. Dion bebas merokok jika ingin, tapi tidak dengan uang pemberiannya dan Dion hanya bisa terdiam saat ia sadar bahwa ia tak memiliki penghasilan apapun untuk membeli rokok. Kehidupannya saja masih harus ditunjang oleh orang tuanya. Jadi, Dion harus bisa berpasrah diri untuk tidak mencoba barang itu lagi. Terlebih saat papahnya menjabarkan dampak negatif dari mengkonsumsi rokok. Ia tak mau merusak tubuhnya. Tapi, tidak tau ya kalo dia sudah mempunyai penghasilan sendiri. Terkadang bisikan syaiton itu begitu menggoda.

"Ngelamun mulu lo, mati mendadak baru tau rasa"

"Sialan! itu mulut pengen banget gue gergaji" Alex terkekeh melihat wajah kesal adiknya.

"Lo suka ngerokok didepan kak Kinan?"

"Gila kali kalo gue ngerokok di depan Kinan, cukup gue aja yang ngehirup racun, dia jangan"

"Baguslah, gue denger-denger kak Kinan punya asma" Alex menoleh saat mendengar jawaban adiknya "Tau dari mana lo kalo Kinan punya asma?"

"Kia"

"Sejak kapan lo deket sama calon adik ipar gue?" Dion medengus mendengar pertanyaan Alex.

"Sejak pertama kali gue liat dia, jantung gue berdebar kencang.
Malam-malam gue dibuat gak tenang, wajahnya selalu merasuk dalam bayang-bayang" Dion berujar dramatis sambil menangkup tangannya didada, membuat Alex bergidik geli.

"Najis! Sakit jiwa lo ya" Dion terkekeh, ia melihat kakaknya yang kembali menyulut rokok. Jika tidak salah, itu sudah batang yang ketiga. Kakaknya ini mau mati kali ya?

"Ada masalah lo?" Alex mengangkat bahunya tak acuh, membuat Dion mendengus kesal.

Terjadi hening yang cukup lama, sampai akhirnya Dion kembali membuka suara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

About FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang