: FOURTEEN :

3 1 0
                                    

“ Oh, dia yang namanya Riko.” Gumam Bang Ejik fokus menyetir mobilnya yang kini menyelusuri jalan tol.

“ Dia anaknya jago bahasa inggris....”  Sahut Nadin yang langsung dipotong Riko dengan sopan. “ Bukan jago, cuma bisa.”

“ Apa sih bedanya jago sama bisa, sama saja.” Gumam Nadin menautkan alis.

“ Jago itu digunakan bila orang sudah  menguasai pengalamannya, bisa itu kemampuan untuk menguasi pengalaman.” Jawaban Riko membuat Bang Ejik kagum.

Nadin tidak salah dalam memilih teman. Begitu juga dengan Nadin, selain indah; kata – kata Riko membuat Nadin terdiam. Pemikiran lelaki itu lebih dewasa daripada dirinya.

“ Omong – omong perjalanan pulang nanti, kalian sudah punya tiket kereta?” Tanya Bang Ejik.

“ Kami sudah punya,”

“ Okelah, bang Ejik tenang kalau begitu.”

“ Eh bang, tidak apa – apa ya Riko ikutan panggil bang kayak Nadin.” Kata Riko tersenyum kikuk. “ Tidak masalah Rik, tidak apa – apa. Ada apa?.”

“ Boleh tidak nyalakan lagu, pakai hape aku saja. Daripada boring lalu ngantuk.”

“ Mengapa tidak boleh, pasti boleh. Ini kabelnya.” Kata Bang Ejik menyerahkan kabel USB ke Riko.

“ Mau yang mana?” Tanya Riko menatap Bang Ejik dan Nadin bergantian.

“ Yang enerjik saja, takut ngantuk.” Sahut Bang Ejik.

“ Halah bang, denger lagu begituan saja Bang Ejik juga pernah langsung molor. Ngiler lagi.” Sindir Nadin tidak bisa tidak tertawa.

“ Biar Riko yang pilih. Ya,”

Timpal Riko memasukkan beberapa lagu yang menurut dia memiliki aliran enerjik ke suatu daftar lagu yang nantinya akan terus berputar selama perjalanan hingga sampai tujuan. “ Oke, asalkan bagus.”

“ Rik, sudah sampai.” Kata Nadin menepuk bahunya berkali – kali.

“ Sampai mana?” Tanya Riko dengan penglihatan yang masih samar – samar.

“ Ayo kita turun saja. Bang Ejik sudah menunggu di luar.” Kata Nadin menarik tangan Riko agar segera keluar dari mobil.

“ Maaf bang, lama menunggu. Riko ketiduran.” Kata Riko ketika mereka menghampiri lelaki usia 23 tahun.

“ Ayo buruan masuk, orang – orang sudah pada masuk. Lima menit lagi pintu akan ditutup.”

Sahut Bang Ejik menggiring mereka memasuki sebuah gedung yang membuat pikiran Riko campur aduk.

“ Kita ada di mana?” Tanya Riko mengintimidasi. Dia menahan pergelangan tangan Nadin.

Waktu tinggal tiga menit, posisi mereka hampir mendekati sebuah pintu kaca berlapis warna gelap.

“ Riko, kita harus buru – buru. Ini bukan waktunya tanya jawab.” Kata Nadin.

Pintu dibuka oleh Bang Ejik, dia memberi aba – aba untuk segera masuk ke dalam pintu tersebut. “ Kok gelap? Kalian berdua tidak punya niat aneh – aneh kan buat Riko?” Tanya Riko menatapnya tajam bergantian.

“ Riko, pegang tangan Nadin. Nadin, pegang tangan Bang Ejik. Kita bergandengan erat dan tidak boleh sampai putus. Tempat ini gelap, jika kita tidak melakukan apa yang Bang Ejik perintahkan. Kita akan mendapat resiko. Mengerti?” Kata Bang Ejik memasang wajah serius. Riko bungkam, dia segera menggenggam tangan Nadin. Begitu juga Nadin mulai menggenggam tangan Bang Ejik.

Mereka bertiga berjalan beriringan, menyelusuri jalan gelap yang diujungnya mulai muncul seberkas cahaya.

“ Langkah kalian diusahakan hati – hati. Sebentar lagi kita akan sampai.” Kata Bang Ejik mendekati cahaya tersebut.

Ikutilah aku! Ikutilah aku!
Kita saling menggenggam.
Kau kan menemukan sesuatu di cahaya itu.
Berhati – hatilah, agar tidak salah.
Dengarkan segala suara .
Suara penuh tujuan mulia.
Bila kau tidak bisa mendengar.
Kita tidak bisa mencapai.
Kita akan berakhir.

Nadin melakukan konsentrasi yang cukup tinggi terhadap dua hal, pertama dia harus menggenggam erat telapak tangan Bang Ejik. Kedua dia harus memperhatikan keadaan Riko. Dia ingin memastikan apakah Riko baik – baik saja di belakangnya.

Nadin merafalkan lagu dark alley, ini ketiga kalinya dia merafalkan lagu tersebut. Lagu yang dia rafalkan bertepatan dengan situasi. Waktu pembantaraan sesi pencarian bandage yang dilaksanakan malam hari, dia bersenandung dark alley dalam hati. Lagu itu membuatnya tenang. Selagi ketika dia bersama keluarga terjebak dalam kabut tebal di tengah malam. Lokasi mereka ada di puncak. Jauh dari lingkungan penduduk sehingga minimnya cahaya lampu jalan di sekitar itu membuat mereka harus menunggu beberapa menit hingga hilangnya kabut.

Only dark alley, she was calm with her situation.

Sinar cahaya semakin temarang, kebanyakan dominasi antara warna ungu, merah, dan biru.

Keriuhan orang – orang terasa, mengisi seantero arena yang membuat kedua mata Riko berkaca – kaca. Dia terharu.

“ Na, ini mimpi?” Tanya Riko dengan bibir bergetar. Nadin langsung memberinya kehangatan, menggenggam tangan Riko yang terasa dingin.

This is your real world and my real world. Should you see it obvious?

Riko menatap Nadin sambil melemparkan senyum terbaik-nya. Senyum yang belum pernah Nadin lihat.

“ Apakah kamu yang merencanakan semuanya?.” Tanya Riko sembari menunggu detik – detik hadirnya Red Fire yang akan beraksi.

“ Kamu belum tahu tentang aku, kalau sebenarnya aku sudah menyukai Red Fire sejak dulu. Memang cerita panjang, maka lihat dulu saja penampilan mereka as you wish hingga selesai.”

“ Makasih.”  Ucap Riko tersipu.

Tepat keluarnya Kath, Nacky, Zei, dan Clarey membawakan lagu pembukaan serta mengucapkan salam menggunakan bahasa Indonesia. Teriakan penonton semakin riuh menyahuti salam mereka yang dianggapnya hangat.

Lagu pertama yang dinyanyikan lagu Yard, sontak Nadin dan Riko turut bersenandung ria. Ada satu kejadian yang membuat Nadin tidak menyangka, suara Riko bisa dikatakan baik. Selain indah, kata, suara Riko membuat Nadin diam.

Favorite thingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang