: SIXTEEN :

2 1 0
                                    

“ Bagaimana konsernya.” Tanya Vina merapikan dasi sebelum menginjak tanah lapang. Nadin berjalan di sampingnya, mulai masuk kelas ia menceritakan pengalamannya kemarin. Vina tampak antusias mendengarnya hingga moderator upacara mengecek mikrofon sebelum upacara bendera rutin setiap Senin dimulai.

Usai upacara, mereka berdua memutuskan ke kantin. Vina berkata dia belum sempat sarapan karena terburu – buru.

Begitu juga Nadin, tentu saja kemarin dia sampai rumah larut. Waktu membangunkannya pagi ini tepat pukul enam. pada saat itu tidak ada siapapun yang di rumah. Seperti biasa ibu belanja ke tukang sayur keliling, ayah telah berangkat kerja subuh - subuh, dan Nasa menikmati waktu mandi-nya selama tujuh menit.

“ Nadin, belum sarapan nih?”

Kehadiran Riko membuat Nadin menoleh ke arahnya. Dia tengah mengambil dua bungkus roti sobek dan satu susu kotak rasa vanila. Setelah membayar, dia kembali menatap Nadin.

“ Lah kamu?.”

“ Sama, oke. Aku dulu.” Pamitnya seraya merangkul temannya meninggalkan lingkungan kantin.

“ Riko teman SMP kamu?”
Pertanyaan Vina membuat Nadin tersedak.

“ Kamu kenal dia.”

“ Riko teman satu kelas waktu MPLS. Orangnya kalem banget.”

“ Oh.” Nadin juga menganggap kalau Riko adalah laki – laki terbaik setelah ayah dan kakek. Dia sopan, seakan dia memiliki orang tua seperti dirinya yang pandai dalam mengajar tata krama.

Bel pulang berdering, Nadin memasukkan alat tulis ke tas. Disusul Vina, mereka melangkah beriringan menuju parkiran. Ketika menunggu suasana parkiran agak sepi, Nadin melihat Riko duduk sendirian di kawasan tempat duduk – duduk depan SMA. Sedari tadi dia memperhatikan ponsel, kemudian menoleh ke kanan kiri, berpaling ke ponsel lagi. dia seperti sedang menanti taksi online.

Nadin memutuskan menghampirinya. Sebelumnya dia berpamitan dahulu ke Vina.

“ Tidak bawa motor?” Tanya Nadin ikut bergabung duduk di sampingnya.

“ Ibu larang aku, dia takut aku masih mengantuk dan kelelahan. Ya.., akhir – akhir ini ibu mengkhawatirkanku seperti anak kecil.”

Jelaslah, karena Riko sedang sakit. Dia ingin menghabiskan waktunya bersama Riko sebelum Riko pergi. Batin Nadin tersenyum getir.

“ Nadin, ngapain ke sini?.”

“ Pingin ngobrol sama kamu. Sekalian nunggu parkiran sepi.”

“  Nadin, aku pulang dulu ya.”

Tukar Riko melambai ke mobil yang dipesannya agar mobil itu segera mendekati.

“ Hati – hati Rik.” Nadin ikut berdiri, memandang punggung Riko yang menghilang di balik pintu mobil.

Lusa, Nadin melihat Riko duduk menyendiri di lapangan dengan kemeja batik khas milik sekolah.

Sedangkan teman – temannya terlihat asyik bermain kasti. Bahu -  membahu saling mengejar dan menangkas tim lawan.

Riko balas menatap Nadin, dia tersenyum sambil mengancungkan jempol menandakan dirinya baik – baik saja. Nadin menjadi merasa bersalah, setelah dirinya mengajak Riko nonton. Riko terlihat seperti orang lemah.

Hujan deras kemarin siang, Nadin melihat ibunya tergopoh – gopoh membawa payung menuju Riko. Lelaki itu ingin sekali menembus hujan namun ibunya berkali – kali melambaikan tangan tidak mengizinkan. Ibunya sungguh khawatir akan kesehatan Riko.

Wanita itu rela terkena rintik hujan demi keadaan anaknya yang tidak lama lagi sudah terlihat di rumahnya dan di sekolah ini.

Favorite thingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang