: EIGHTEEN :

1 1 0
                                    

Sepulang sekolah Nadin menggunakan waktu sebaik – baiknya untuk mengunjungi Riko. Dia membuka pintu sambil membawakannya beberapa bungkus roti sobek yang biasa Riko nikmati ketika dia sekolah atau di bimbel.

Riko tengah belajar, mengerjakan buku kerja siswa biarpun punggung tangannya tertancap selang infus. Nadin pernah melarang Riko melakukan kegiatan tersebut takut terjadi hal yang tak diinginkan namun Riko menjawab dirinya sudah biasa.

“ Aku kangen sekolah.”

“ Tapi kamu masih sakit.”

“ Penyakit ini membuat aku tidak sekolah lagi untuk selamanya.” Ucapnya menyengir.
Iya Riko, benar ucapanmu. Nada bercanda tapi menyakitkan.

“ Eh Na, aku lihat iklan tadi ada siaran ulang konser RF jelang musim semi. Katanya jam segini sudah tayang, kamu ganti channel-nya.” Riko menyerahkan remote ke Nadin.

“ Kamu tahu tidak, dulu aku bermimpi ada orang selain keluargaku yang bisa diajak nonton begini. ternyata kamu orangnya. ” Hampir menyentuh tombol pengganti saluran, penggerakan Nadin menjadi diam. Dia memutar balik tubuhnya menghadap Riko.

“ Tak disangka bukan?.” Tanya Riko menaikkan satu alis. Nadin terkekeh, dia kembali menghadap layar televisi yang menampilkan serial kartun.

“ Nacky ternyata bisa bermain drum, apalagi Clarey, dia bernyanyi bersama sepatu roda kesayangannya. Gadis luar biasa.” Seru Riko terpukau.

“ Wow Zei, dia juga seorang rapper, Kath jiwa rapper-nya malah yang lebih hebat.” Gumam Nadin. Selama mereka beraksi mereka berdua akan heboh.

Membicarakan hal yang disukai merupakan kesempatan yang tepat sebelum kesempatan itu berakhir.

Maka Nadin harus siap menerima segalanya.
Bulan berganti bulan, kondisi Riko tiba – tiba melemah. Nasib jantungnya sudah dikatakan mendekati ajal. Kini bukan selang infus saja yang menemaninya, beberapa alat bantu terpasang dibagian – bagian tubuhnya.

Segalanya digunakan agar Riko tetap bertahan, waktu Riko bertahan digunakan  orang – orang sekitar Riko berusaha mencari pendonor yang tepat untuknya.

Apalagi ruangan Riko dipindah tempatkan di ICU. Agar penanganannya lebih intensif. Namun percuma, pendonor belum ada. Melalui iklan internet juga belum mengeluarkan hasil. Pihak rumah sakit dan pihak keluarga Riko akhirnya angkat tangan menyerah.

Mereka tidak rela tapi mereka harus ikhlas. Termasuk Nadin. Dia hanya boleh melihat Riko dari dinding kaca. Ibu Riko berada di dalam, mengadahkan tangan berdoa tepat disamping Riko yang tertidur.

“ Nadin, pulang saja.” Kata Tata. Dia yang menemani Nadin menjenguk Riko sepulang sekolah. Nadin mengangguk menuruti ajakan Riko.

Sebelum meninggalkan ruangan, dia melirik dinding kaca. Riko terbangun, membuka mata, tepat arah pandangnya menatap Nadin. Dia menyunggingkan senyum kecil dibalik alat bantu pernafasannya.

Nadin tersenyum sendu, beranjak meninggalkan Riko.

Favorite thingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang