: SEVENTEEN :

2 1 0
                                    

Minggu berganti minggu, hujan tidak lagi sederas bulan Desember. Jelang musim kemarau dan musim persiapan ulangan kenaikan kelas yang diisi dengan penuntasan materi.

Nadin lebih banyak menghabiskan waktunya dengan  mengerjakan latihan soal bersama Silent yang mengalun lebih mellow dari lagu – lagu lainnya.

Sayup – sayup dia mendengar ibu bercengkrama entah dengan siapa. Padahal di rumah hanya ada Nadin dan Ibu. Ayah belum pulang sedangkan Nasa barusan meminta izin bermain di rumah temannya.

Suara ibu muncul di depan pintu, dia menyampaikan seluruh isi yang dibicarakan lawan bicara ibu lewat telepon tadi, membuat Nadin terdiam.

Kabar buruk membuat Nadin diam.

Tidak peduli gerimis mengguyur, Nadin dan Ibu mempercepat langkahnya dengan menaiki jembatan penyeberangan.

Angkot menghampiri mereka ketika sampai di trotoar.

Mengantarkan keduanya menuju rumah sakit tempat Riko rawat inap. Isi telepon tadi Riko meminta Nadin menemuinya di sana.

Setelah bertanya ke resepsionis, mereka berpapasan dengan ayah Riko yang sedang membawa kantong plastik berisi soto ayam.

Ibu Nadin dan ayah Riko saling kenal, dia menyuruh Ibu dan Nadin segera menuju ke ruangannya yang ada di lantai dua.

Hendak masuk ke kamar, pergelangan tangan Nadin ditahan oleh ayah Riko. Dari tatapan mata ayah Riko, ia meminta Nadin berbicara sejenak. Biarkan ibu Nadin yang menjenguknya dulu.

“ Kamu Nadin. Orang yang ajak Riko ke konser tokoh idolannya. Orang yang bikin Riko semakin dekat dengan hal kesukaannya.” Kata ayah Riko di bangku koridor yang menghadap taman.
“ Iya, om.”

“ Maaf ya Riko bikin kamu repot – repot datang ke sini. Hujan lagi. habis Om tidak tega lihat dia kayak begitu.” Kata – kata ayah Riko semakin lirih, Nadin terhenyak seketika.

“ Kamu sudah tahu masalah Riko?” Tanya ayah dibalas anggukan Nadin.

“ Dia tidak cerita masalahnya, Pak Sef yang cerita karena Nadin yang tanya. Jadi Nadin tahu alasan Riko tidak hadir sekolah atau bimbel pada tanggal itu.”

“ Kami sampai saat ini belum bisa mendapat pendonor, apalagi biaya dikeluarkan sangat mahal. Belum lagi biaya dia berobat. Semakin lama keuangan kami semakin sedikit, dokter juga mulai nyerah sama jantung Riko. Kami tinggal menunggu kapan Riko pergi.” Katanya mengeluarkan air mata.

“ Om harus kuat. Nadin sebenarnya tidak rela lihat Riko pergi. Mau bagaimana lagi, Tuhan yang menentukan usia Riko.”

“ Terima kasih ya nak, mau datang ke sini demi Riko.”

“ Riko sudah anggap Nadin saudara selain Nasa.” Jawab Nadin sebelum namanya dipanggil untuk memasuki ruangan Riko.

Favorite thingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang