Diperjalanan tidak ada satupun diantara Vicky dan Vania yang ingin memulai pembicaraan., mereka fokus kepada pemikirannya masing-masing.Hingga tak terasa rintikkan hujan turun sampai menjadi deras.
"Cih, hujan,"gumam Vania. Vicky menatap Vania dan bertanya, "ada yang salah dengan hujan ?"
Vania memandang arah luar. "Gak suka aja,"ucapnya singkat tanpa memandang Vicky. Vicky menatap Vania bingung. Hingga lampu lalu lintas berwarna merah, memberhentikan mobil itu.
Badan Vicky langsung saja menghadap ke arah Vania. "Van, lo.."
Vania tidak mendengarkan perkataan Vicky, ia terlalu fokus ke arah pemandangan yang berada di luar jendela. Ia -Vania- menyipitkan matanya, menatap satu sosok yang ia tunggu.
Vania membelalakan matanya mendapati di sebuah restoran seorang laki-laki yang sedang tertawa dengan seorang perempuan, dan semakin melotot garang mendapati salah satu tangan laki-laki itu mengacak rambut seorang perempuan.
"SHIT !"umpat Vania. Ia keluar dari mobilnya dan hujan langsung mengguyur tubuhnya, ia tidak peduli. Ia hanya ingin melihat kebenaran dari penglihatan matanya. Vania menyebrang jalan tanpa peduli kendaraan-kendaraan yang mengklaksonnya.
Sesampai di dekat jendela restauran, Vania menyembunyikan dirinya di bawah pohon dengan kedua tangannya yang mengepal.
Vicky yang melihat itu terkejut beberapa menit dan dengan gerak cepat, Vicky mencari sebuah payung di bagasi mobilnya. Setelah itu, ia ikut menghampiri Vania.
Setelah sudah dekat, Vicky melihat Vania seperti orang yang frustasi yang baru saja diputusi.
"Van.."panggil Vicky.
"Gue enggak ngerti sama dia.."gantung Vania sembari mengusap wajahnya kasar karena terkena rintikkan hujan. Vicky dengan sigap memayungi Vania.
"Dia jutek ke gue, dia datar ke gue, dia jarang banget senyum ke gue, dia egois ke gue. Tapi sama orang lain, dia ekspresi. Tapi ketika gue minta putus karena tingkahnya yang membuat gue lelah dan muak, di situ pula dia ngebuat gue speechless sama tindakannya, di situ pula dia ngebuat gue bahagia." Sambungnya.
"Gue juga enggak ngerti sama takdir. Dulu, gue sayang banget sama lo Vick. Ah bukan, tapi gue cinta sama lo Vick.."gantung Vania. Vicky kelu, disatu sisi ia bahagia mendengar pernyataan Vania, tapi di sisi lain ia tidak mungkin memotong curhatan Vania.
"Tapi sayang, lo cintanya sama Renita. Dan saat itu juga gue memutuskan untuk gak percaya sama cinta, karena cinta itu bullshit. Cinta itu nyakitin. Dan Rion ... Datang dengan segala tingkahnya yang membuat gue pusing dan membuat gue terpaksa menerimanya. Anehnya gue nyaman karena tingkahnya. Tapi.... lagi-lagi kejadian dulu terulang lagi. Saat gue ngeliat lo sama Renita tertawa bahagia tanpa gue, dan sekarang Rion sama cewek lain,"curhat Vania dengan nada yang sudah bergetar dan menatap nanar pemandangan yang menurutnya menyakitkan itu.
"Tapi, ketimbang gue enggak ngerti sama dia dan takdir. Gue lebih enggak ngerti sama diri gue. Di satu sisi gue pengen ngejauh, di satu sisi gue pengen dia disamping gue, gue nyaman sama dia. Di satu sisi gue ngerasa kayak orang yang sedang jatuh cinta, tapi di satu sisi gue ngerasa kayak benci sama dia, kayak biasa aja. Di satu sisi gue muak karena possesive dia, tapi di sisi lain gue gak suka ngeliat dia deket-deket sama cewek lain. Gue bingung sama perasaan gue.. Gue bingung mau gue apa ? Gue bingung, gue kenapa.. ?"tanya Vania menatap kedua tangannya dengan tatapan nanar lalu bergantian menatap nanar pemandangan didalam restauran itu.
"Huft.." Vania menghela nafas lelah. Ia membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Vicky menahan lengannya membuat Vania mendongak.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFERENT
Teen FictionVania Asya, perempuan cantik, pinter namun lemot, tidak sabaran, moodyan, bawel, dan belum bisa move on dari sahabatnya sendiri, Vicky. Akan tetapi, takdir mempermainkan Vania dengan menjadi pacar Rion Alexander, cowok datar, dingin, kalau ngomong h...