22

59 6 0
                                    

Setelah mereka berdiam diri, Rion melepaskan pelukannya dan berkata "Tunggu sebentar."

Vania sempat merasakan kehilangan, namun dirinya langsung menepis perasaan itu. Ia menatap pemandangan kota dengan tatapan yang sulit diartikan. Berbagai pemikiran berkecamuk yang sedang hinggap di kepalanya dan Vania tidak suka ini. Terlalu banyak pemikiran membuat dirinya akan memiliki pemikiran negatif dan itu berdampak akan memiliki perasaan tidak enak, dan semakin tidak ia sukai ketika apa yang dirasakannya itu benar-benar menjadi kenyataan. Ia tidak menyukai ini!

"Ini." Vania mengerjapkan matanya, lalu menatap sebuket bunga dengan sangat lama.

"Ini apa?" Tanya Vania.

"Bunga." Dengusan Vania langsung terdengar.

Perusak suasana!

"Yah aku tau ini bunga, tapi kenapa bisa ada disini?"

"Karena aku beli."

"Sejak kapan? Kan kamu daritadi sama aku terus."

"Sejak tadi." Gigi Vania bergemeletuk menandakan ia kesal.

"Yah aku tau sejak tadi. Tapi kapan? Sore hari kah? Siang kah?"

"Kepo."

Jangan mengumpat, jangan mengumpat. Inget Van, Rion emang suka begitu. Batin Vania berusaha menahannya.

Diam-diam Rion berusaha menahan sekuat tenaganya untuk tidak tersenyum geli. Setidaknya, pikirannya teralihkan karena Vania-nya.

Vania-nya yah Yon? Emang dia bakal mau sama lo lagi, seandainya dia tau sebenarnya? Apa dia bakal tetep jadi Vania-nya lo, Rion? Sebuah pemikiran yang menyadarkan dirinya membuat ia tidak suka, apalagi tiba-tiba sebuah pemikiran Vania bersama dengan laki-laki lain.

Tanpa sadar Rion, ia berdecak dengan mata yang menjadi gelap dan berkilat marah. Vania menatap Rion dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kamu kenapa, Yon?" Tanya Vania dengan sebuah tangan menyentuh pipi Rion dan mengusapnya pelan. Rion memejamkan matanya, lalu menghela napas berat.

Rion diam."Kamu mau cerita?" Tanya Vania dan Rion tidak menhawab. Ia takut, jika jawaban yang diberikan akan membuat dirinya kehilangan Vania. Ia takut!

Vania menghela napas berat, lalu menjauhkan tangannya dari pipi Rion. Namun, Rion menahan tangan itu. Ia mengambil tangan Vania yang satunya lagi, lalu menuntun kedua tangan Vania dan melingkarkan kedua tangan tersebut ke belakang lehernya.

Posisi mereka menjadi sangat dekat, apalagi ketika Rion melingkarkan kedua tangannya di pinggang Vania dan menarik Vania lebih dekat. Semakin dekatlah mereka hingga napas mereka terdengar beradu.

Vania menatapnya gugup, sedangkan yang ditatap hanya menatap Vania dengan tatapan yang sulit terbaca."Kamu kenapa Rion?" Tanya Vania sekali lagi, berharap mendapatkan jawabannya.

Rion menggelengkan kepalanya, lalu menjawab "Apapun yang terjadi, aku harap kamu percaya sama aku."

Rion dan teka-tekinya tidak akan pernah lepas.

"Percaya? Kamu kenapa, Rion? Tolong kasih tau aku." Rion menggelengkan kepalanya.

"Suatu saat nanti akan aku beritahu. Saat ini dan untuk kedepannya, aku minta kamu harus percaya sama aku. Percaya kalau aku cinta sama kamu nggak ada perempuan lain, percaya kalau aku termasuk orang yang ingin mempertahankan hubungan kita, percaya kalau aku serius sama kamu."

Vania terpana mendengar penjelasan Rion yang panjang itu. Rion mendengus mengetahui arti tatapan Vania yang diberikan untuknya."Bisa kamu percaya sama aku Van?"

DIFFERENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang