23

50 7 1
                                    

Hancur. Satu kata yang menggambarkan perasaan Vania saat ini. Ia berlari, pergi dari keramaian. Berulang kali mengusap kasar air matanya yang jatuh dikedua pipinya.

"Kenapa gak berhenti-berhenti sih?" Tanya Vania dengan nada yang bergetar.

Hingga sebuah telapak tangan menarik tangannya kedalam sebuah kehangatan yang ia kenal. Pelukan Rion.

Rion memeluknya dari belakang. Vania berusaha memberontak, namun Rion tak kunjung melepaskan pelukannya. Justru Rion semakin mengetatkan pelukannya. "Maaf," lirih Rion namun Vania tidak menjawabnya. Vania menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia menangis tanpa suara.

"Aku minta maaf. Tapi tolong, percaya sama aku," ucap Rion.

Vania memejamkan kedua matanya dan berkata dengan lirih "Kenapa aku harus percaya sama kamu Rion?"

"Karena aku cinta sama kamu. That's why you must believe me," jawab Rion.

Perkataan Rion membuat Vania melepaskan kedua tangan Rion dengan kasar, lalu ia tertawa kencang dengan air mata yang berderai.

"Ha.Ha.Ha. Cinta? Aku harus percaya sama kamu karena cinta, Rion? Setelah apa yang aku lihat dan aku dengar, Rion? Itu yang namanya cinta?" Tanya Vania menatap Rion nanar."What the fucking bullshit, Rion! Kamu bilang itu cinta? Sedangkan kamu nggak pernah ngomong apapun tentang masalah kamu itu, Rion. Dan... Dan... Kamu sudah bertunangan didepan mata aku, Rion! ITU YANG NAMANYA CINTA?!"

Vania memejamkan matanya dan berharap malam ini hanyalah sebuah mimpi, namun ekspektasi hanyalah sebuah ekspektasi yang tidak akan sesuai dengan harapannya. Ia harus menerima semua ini.

"Kamu tau, Yon? Aku sekarang tersesat Yon. Aku bingung, selama ini kita itu apa? Sebuah kenyataan atau sebuah ilusi yang kamu ciptakan? Tapi, kenapa hari-hari bersama kamu seakan-akan nyata? Kamu terlalu teka-teki, Yon. Kamu dan misteri kamu, sedangkan aku? Aku harus memecahkan misteri-misteri yang kamu berikan tanpa sebuah petunjuk dari kamu," lanjut Vania.

"Aku bisa menjelaskannya, Vania," ucap Rion mengepalkan kedua tangannya.

"Jelaskan! Aku pengen tau, alasan apalagi yang akan kamu pakai." Namun, Rion terdiam. Vania mengusap air matanya dengan kasar. "JELASIN RION! KAMU PUNYA MULUT, KAN?!"

"Aku bingung harus darimana aku jelaskan! Terlalu rumit, dan butuh waktu. A nggak bisa jelasin sekarang, Vania." Ucapan Rion membuat Vania tersenyum sinis kepadanya, dan ketika Vania ingin membuka mulut, Rion memotongnya dan berkata "Aku janji akan menjelaskan semuanya kepadamu, tapi tidak sekarang."

Vania menggelengkan kepalanya, ia memejamkan kedua matanya. Lalu, membuka matanya.

Vania kembali menangis, ia memundurkan beberapa langkah."Aku nggak mau," ucap Vania mengepalkan kedua tangannya."Aku nggak mau mendengar janji kamu lagi, aku nggak mau mendengar dengan semua alasanmu yang tidak jelas itu, Rion. Karena saat ini, aku memutuskan untuk tidak mencampuri urusan kamu. Aku memutuskan tidak ada lagi kita, saat ini, dan kedepannya." Tambah Vania memejamkan matanya dengan air mata yang berderai.

Deg.

"M-m-maksud kamu, Vania?" Tanya Rion dengan tatapan ketakutan.

"Aku berhenti. Kita putus." Setelah mengucapkan dua kata itu, Vania membalikkan badannya dan pergi meninggalkan Rion. Bertepatan itu pula hujan mengguyur mereka berdua.

Kita putus.
Kita putus.
Kita putus.

"No no no. Nggak ada kata putus. Aku nggak mau putus!" Ucap Rion dan berlari menangkap tangan Vania, lalu mencengkram tangan Vania dengan erat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIFFERENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang