Shin Hye terduduk di sofa sambil merengut, ia tidak setuju dengan keputusan ayahnya.
"Yong Hwa kebetulan sedang berada di Osaka sekarang, jadi Appa suruh menjemputmu supaya kalian pulang bersama." tuturnya. "Sebab Appa tidak tenang membiarkanmu pulang sendiri." tandasnya.
"O.. jadi Yong Hwa sedang berada di Jepang juga. Kebetulan sekali." senyum ibunya tampak lega.
"Aku ini sudah dewasa, aku bukan anak kecil lagi. Aku pasti bisa pulang sendiri, Appa. Tidak harus Appa jadi merepotkan orang lain." tepis Shin Hye menolak keputusan ayahnya.
"Appa percaya kau pasti bisa, tapi Appa tidak tenang kalau kau hanya pergi sendiri. Sayangnya Sekretaris Choi harus mewakili Appa ke Nagoya. Sudah jangan membantah. Appa dengan Eomma harus pergi ke Bangkok karena post major, kau pasti tidak akan suka makanya Appa tidak mengajakmu. Nanti saja kita kesana untuk sengaja berlibur. Eoh? Nurut pada Appa!" pinta Presdir Seo, Shin Hye akhirnya diam.Ia tidak ingin bertemu Yong Hwa, apalagi untuk melakukan penerbangan Tokyo-Seoul. Sejak Yong Hwa memperlihatkan abu jenazah bayi mereka, ia tidak ingin bertemu lagi dengannya. Kenapa Yong Hwa tidak menunggunya untuk melakukan sesuatu terhadap bayi mereka? Kata siapa dirinya setuju bayi mereka dikremasi? Yong Hwa memutuskan sendiri semua itu, seakan bayi itu hanya miliknya. Ia benci sekali dengan sikapnya yang egois.
Padahal Shin Hye ingin sekali melihat wajah buah hatinya, walau pun dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Ia ingin memeluknya terlebih dahulu sebelum jasadnya dimusnahkan. Sekarang ia tidak punya kenangan sama sekali dengan buah hati yang selama 7 bulan bersemayam di dalam rahimnya. Padahal sisa ia melahirkan masih tampak pada tubuhnya. Setidaknya posturnya yang belum kembali ramping seperti sebelum hamil.
"Sayang, apa yang membuatmu tidak suka dengan keputusan Appa? Apa karena kau tidak kami ajak ke Bangkok? Atau karena harus pulang dengan Yong Hwa?" tanya ibunya lembut sambil mengelus punggung Shin Hye setelah ayahnya keluar dari kamar itu.
"Aku bisa pulang sendiri, Eomma. Kenapa Appa tidak bertanya dulu padaku mau atau tidak aku pulang dengan mantan mantu Eomma itu? Appa langsung menyuruhnya supaya menjemputku." sungut Shin Hye.
"Kau jangan terlalu benci pada Yong Hwa, Shin Hye-ya! Cepat atau lambat kau tetap akan berurusan dengannya, sebab kalian punya urusan yang sama. Yaitu mendiang anak kalian. Sewaktu-waktu kau pasti ingin datang menengoknya, dan itu berada di rumah abu keluarga Presdir Jung. Kau jangan mempersulit diri dengan memusuhinya." ujar Ny Seo lembut.
"Aku tidak suka padanya, dia itu type ayah yang egois. Dia memutuskan sendiri semuanya tanpa berunding dulu denganku." tambahnya.
"Bukan egois, tapi bayi itu memang harus segera diurus. Dia meninggal sebelum kondisimu memungkinkan untuk diajak berunding. Apa kau tidak kasihan bayimu dibiarkan harus menunggumu pulih, yang entah berapa lama? Itu tidak mungkin, Shin Hye-ya. Justru kasihan bayimu." jelas Ny Seo sabar.
"Eomma tolong jangan bicarakan lagi hal itu!" pinta Shin Hye sambil menahan air matanya.
"Kau yang mulai..." senyum wanita baik hati itu menjewel pipi belahan hatinya.
"Lalu sekarang dimana dia itu katanya?" sungutnya lagi.
"Dia sudah di airport menuju kesini. Appa sudah memesankan tiket untukmu ke Seoul untuk penerbangan pagi. Jadi Yong Hwa akan menginap di hotel ini semalam. Dan Eomma dengan Appa berangkat ke Bangkok tengah malam nanti. Kau baik-baik padanya, jangan galak, eoh?" tangan Ny Seo mengarahkan dagu Shin Hye supaya menatapnya. Tapi Shin Hye menepisnya.
"Semoga saja aku bisa menahan kekesalanku padanya." tuturnya sambil berdiri.
Wanita itu hanya tersenyum manis menatapnya.
💰Yong Hwa tiba di hotel tempat keluarga Seo menginap sekitar pukul 9 malam, langsung disambut Tn Seo di lobby.
"Appa sudah pesankan tiket pesawat untuk penerbangan pagi buat kalian. Dan Appa akan berangkat tengah malam nanti." beritahunya sambil menyerahkan tiket.
"Aigoo... Kamsahamnidha, Abeonim!" angguk Yong Hwa sambil menerima tiket itu.
"Tolong jaga dia, Yong Hwa-ya! Kalau dia bersikap kurang menyenangkan padamu, maklumi saja."
"Nde, Abeonim. Jangan khawatir tentang itu." senyum Yong Hwa.
"Maaf, Appa jadi merepotkan. Membuatmu jadi harus mampir ke sini."
"Aniyo, kebetulan memang tidak sedang terburu-buru, Abeonim. Nikmati saja perjalanan Abeonim dan Eommoni. Semoga semuanya lancar."
"Nde, gomowoyo. Silakan cari kamarmu, Yong Hwa-ya. Kamar Shin Hye paling kiri dari kamarmu. Appa juga sudah booking-kan untukmu."
"Noum kamsahamnidha, Abeonim." Yong Hwa menerima key card sambil membungkuk dalam. Keduanya lalu meninggalkan lobby.Seperti yang sudah direncanakan Tn dan Ny Seo, check in dari hotel sekitar pukul 11 malam. Langsung menuju bandara. Mereka pamit kepada Shin Hye hanya melalui telepon.
"Yong Hwa sudah berada di hotel ini juga. Angkat teleponmu kalau dia meneleponmu, eoh? Jangan mempersulit diri sendiri seperti kata Eomma." ujar ibunya.
"Nde. Eomma dan Appa semoga lancar dan selamat di perjalanan! Sampai jumpa lagi nanti di Seoul." balasnya patuh, tidak mau membuat ibu dan ayahnya khawatir sebab mereka akan melakukan perjalanan jauh.
"Anak baik. Eomma dengan Appa pergi dulu ya! Hati-hati!"
"Nde."Dan sekitar pukul 5 pagi telepon genggamnya berdering dari nomor kontak yang biasanya ia abaikan. Namun kali itu terpaksa ia menyahutinya dengan sangat malas.
"Yobseyo."
"Eoh, Shin Hye-ya. Taengitha, kau mau menerima teleponku." suara Yong Hwa jelas sekali diujung sana.
"Eoh, aku disuruh Eomma supaya mengangkat teleponmu." tukasnya dingin.
"Ayolah... kita sekarang akan melakukan perjalanan bersama ke Seoul, kita tidak boleh kaku seperti ini."
"Kau tidak boleh memaksaku. Asal kau tahu, yang menginginkan aku pulang denganmu orang tuaku. Aku sama sekali tidak menginginkannya. Dan jangan kau pikir aku tidak bisa pulang sendiri."
"Aku tidak ingin bertengkar denganmu, Shin Hye-ya. Aku merindukanmu. Aku ingin bertemu denganmu."
Shin Hye yang sudah kesal terdiam speacless mendengar pengakuan itu. di dalam hati kecilnya yang terdalam, sesungguhnya ia pun menginginkan bertemu. Setidaknya untuk mempertanyakan bayi mereka, sebab Shin Hye belum sempat bahkan untuk menemuinya ke tempat persemayamannya.
"Kita akan berangkat dengan penerbangan pukul 7. Sekarang aku akan bersiap membersihkan badan dan sebagainya." ujarnya akhirnya.
"Nde, satu jam lagi kita bertemu di lobby, eoh?"
"Ya."
"Sampai nanti, Shin Hye-ya!"
Tidak disahuti, Shin Hye segera menutup teleponnya.Shin Hye lebih dulu tiba di lobby, ia memasang wajah masam saat seorang pria menghampirinya. Pria dengan kemeja berwarna biru dan jeans biru pudar yang tampak maskulin. Jaket berbahan denim serta sepatu snicker. Keren sekali. Apalagi wajahnya pun enak dilihat. Tapi Shin Hye tampak tidak suka, ia bahkan tidak untuk sekedar memberinya senyum.
"Annyong, Shin Hye-ya! Lama kita tidak bertemu." sapa pria itu tersenyum.
"Nde, terima kasih kau mau memenuhi permintaan orang tuaku." tukasnya dingin.
"Permintaan Appa-mu itu sama dengan titah bagiku, jadi aku tidak akan mengabaikannya. So, kita akan pergi sekarang atau kau ingin sarapan dulu disini?"
"Penerbangannya 1 jam lagi, jadi kurasa sebaiknya kita pergi saja." putusnya.
"Nde, aku setuju denganmu."
Tanpa bicara lagi Shin Hye langsung menyambar kopernya lalu menariknya menuju pintu keluar. Pria itu mengedikan bahu sambil lekas mengejarnya.
"Shin Hye-ya, gajimaseyo!" teriaknya.Sepanjang jalan di dalam taksi yang mengantar ke bandara, Shin Hye tidak sedikitpun bicara. Baru terdengar bersuara bila ditanya. Bila tidak, ia hanya diam dengan mata menatap keluar. Yong Hwa diam-diam memperhatikan penampilannya yang tidak terlalu berubah. Selain semua yang dipakainya adalah barang branded. Kemeja satin putih, rok sebetis dan boot hitam. Jika Seo Hyun pulang liburan seperti itu, akan berkoper-koper barang belanjaannya. Shin Hye hanya membawa 1 koper pakaian dan tas selempang. Simple sekali.
"Bagaimana kesehatanmu sekarang?" tanya Yong Hwa merasa mati gaya.
"Baik. Makanya aku sudah bisa bepergian jauh." jawaban Shin Hye tidak berubah. Tetap pula ketus.Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
BELAHAN HATI
RomanceTakdir dan nasib seumpama gerbong panjang kereta api yang melintas diatas rel. Takdir seumpama rel, dan nasib laksana gerbongnya. Nasib begitu mudah direkayasa dan dipermainkan, nasib dapat dirubah sekehendak hati. Namun takdir adalah mutlak. Takdir...