Bag 28

1.6K 199 27
                                    

Apa yang dikatakan ibunya Shin Hye benar, baru separuh perjalanan, tiba-tiba langit mendung. Dan semakin lama kabut pun turun.
"Kau bisa melihat jalan dengan jelas?" tanya Shin Hye khawatir.
"Nde."
"Kita cari tempat saja dulu untuk berhenti kalau sekiranya kabutnya sangat mengganggu." saran Shin Hye. Yong Hwa tersenyum menanggapinya. "Whe usso?" Shin Hye tersinggung.
"Kabutnya tidak tebal, aku malah masih bisa berlari. Yang Eomma-mu maksudkan supaya kita menepi dulu kalau kabutnya seperti kapas, bukan begini." tepis Yong Hwa.
"Aku kan bilang kalau kabutnya sangat mengganggu, kalau tidak, ya sudah."
"Aku berharap kabut tebal turun saat pulang nanti." harap Yong Hwa.
"Wheo? Supaya kita pulang telat?"
Yong Hwa tersenyum lagi.

Sampai di rumah Harmeoni dengan lancar walau sepanjang jalan disertai kabut. Wanita kumuh yang semakin tua itu memeluk Shin Hye dengan air mata yang deras mengalir dari kelopak mata keriputnya.
"Kenapa Harmeoni kembali kesini? Kalau Harmeoni sakit sangat jauh ke RS." tatap Shin Hye pada tubuh rentanya.
"Harmeoni tidak ingin hidup sendiri, Shin Hye-ya. Semua orang meninggalkan Harmeoni. Harmeoni benar-benar takut." rintihnya.
"Mianhe, Harmeoni. Aku pun ikut pergi meninggalkan Harmeoni."
"Kau tidak harus minta maaf. Kau tidak salah meninggalkan Harmeoni."
Karena di kampung banyak tetangga yang bisa peduli padanya tidak seperti di kota dimana semua tetangga orang-orang sibuk.

Yong Hwa yang melihat hal itu semakin gregetan ingin segera hidup bersamanya. Kasih sayang Shin Hye kepada wanita renta yang sebenarnya bukan nenek kandungnya itu membuatnya semakin tidak bisa melepaskan Shin Hye dari hatinya. Hal yang tampak biasa tapi baginya sangat istimewa.
Di rumah kumuh itu Shin Hye tanpa canggung seperti di rumahnya sendiri saja. Beres-beres, mencuci sambil memasak... membuat makanan untuk Harmeoni. Tangannya segesit ajhumma. Dia tidak risih walau statusnya sekarang telah menjadi anak seorang presiden direktur. Yong Hwa takjub dibuatnya hingga tidak henti terus menatapnya. Memperhatikan setiap yang dilakukannya.
"Kau benar hanya akan menatapku seperti itu, tidak akan membantuku?" tanya Shin Hye melihatnya hanya lekat menatapnya.
"Mwo? Apa yang bisa kubantu?" Yong Hwa kaget.
"Turunkan matamu dariku, Tuan. Itu sangat membantuku."
"Biar aku yang mengiris bawangnya." ia turun dari kursi butut yang hanya ada satu-satunya itu.
Harmeoni mengurai senyum melihat tingkah Yong Hwa.

Rumah itu sekarang terasa nyaman setelah Shin Hye merapikannya hingga mengepel lantainya. Ia mencuci sementara Yong Hwa mengiris bawang dan bahan sayuran yang akan dimasak Shin Hye.
"A.. a... bukan seperti itu mengiris lobaknya, Yong Hwa-ssi!" meski sambil mencuci, matanya sambil tetap mengawasi Yong Hwa.
"Tujuan sayuran dipotong itu supaya mudah dimakan dan mudah matang kala dimasak bukan? Yang penting terpotong saja, tidak harus rapi-rapi. Nanti juga akan kita kunyah." konternya nakal.
"Justru bila memotongnya seperti itu akan lama matangnya, seperti ini biar aku beri contoh." Shin Hye merebut pisau dari tangan Yong Hwa.
"Jingja? Salah dalam memotong mengakibatkan sayuran lama matang?" Yong Hwa kaget.
"Nde, untuk jenis sayuran yang banyak serat seperti ini potongannya itu harus melintang, melawan jalur seratnya. Iroghe."
"Daebak! Aku baru tahu. Selama ini aku hanya tahu memakannya saja."

Mereka lantas menikmati makanan itu bertiga. Lagi-lagi Yong Hwa terpesona oleh sikap Shin Hye yang sangat telaten kepada nenek tua itu. Pantas jika Harmeoni sampai menangis bahagia saat Shin Hye datang. Dan ia menangis lagi saat hendak ditinggalkan, tapi juga tidak bisa tetap menahannya. Shin Hye janji akan sering menengoknya kesana. Setelah menitipkan kepada para tetangga sambil memberikan nomor kontak yang bisa tetangga hubungi bila ada apa-apa dengan Harmeoni, baru Shin Hye meninggalkannya. Senja sudah turun kala mereka bergerak meninggalkan rumah tua setua pemiliknya itu.
💰

Kabut turun dengan tebal saat mereka keluar dari kota Daegu menuju Seoul. Sementara langit pun menuju gelap. Yong Hwa menghela napas.
"Ottokhe? Kabutnya semakin tebal." keluhnya.
"Itu kan maumu." tukas Shin Hye cuwek. Yong Hwa sampai menudingnya.
"Aku serius. Masalahnya kita sudah meninggalkan kota. Kita bisa terlantar di tengah jalan yang jauh kesana kemari."
"Itu juga kan maumu." Shin Hye tetap cuwek.
"Aigoo... kau malah tampak senang akan terjebak kabut denganku di dalam kendaraan di suasana malam. Kupikir kau akan takut..."
Shin Hye menyeringai angkuh. "Terlambat untuk takut olehmu. Tapi coba saja kurang ajar padaku, maka kau tak akan pernah mengenalku lagi seumur hidupmu."
"Kau nampak sangat percaya diri, setelah aku yang meminta untuk mengantarmu."
"Keuroum. Aku memang sangat percaya diri. Bagaimana tidak? Ayahku yang semula kukira sudah tiada, ternyata adalah seorang presiden direktur. Bagaimana aku tidak percaya diri dengan keberuntungan itu?"
"Nde. Kau benar." senyum Yong Hwa. "Jadi sekarang aku mohon petunjukmu, kita akan terjebak kabut tebal. Apa yang harus kulakukan?"
"Saat kau tidak bisa lagi melajukan mobilmu, disana kita berhenti. Tidak perlu mencari sulit."
Yong Hwa mengedikan bahu lalu mengurai senyum. "Nde." ucapnya.

Semakin lama kabut semakin tebal, dan Yong Hwa benar-benar tidak bisa melihat lagi hanya pada jarak setengah meter.
"Aku akan menepi, aku tidak bisa melihat lagi jalan." ujar Yong Hwa.
"Agak depan saja. Di depan pom bensin."
"Geurae. Syukurlah ada pom." Yong Hwa membelokan mobilnya ke dalam pom, lalu berhenti.
Dengan begitu tidak terlalu gelap dan tidak takut orang jahat bila harus menunggu di dalam mobil.
"Dan kita akan melakukan apa menunggu kabut pergi?" tanya Yong Hwa setelah menghentikan mobilnya.
"Aku tentu saja bisa tidur." ucap Shin Hye sambil menurunkan sandaran jok lalu mengeluarkan selimut dari tas yang dibawanya.
"Aigo... jadi kau akan membiarkanku sendiri?"
"Kau juga tidurlah."
"Mana bisa kita seperti di kamar hotel, ini di mobil.. Penghangat perlu tetap dinyalakan, bagaimana bisa aku akan nyenyak tidur?"
"Kalau begitu kau berjagalah."
"Ini yang kumaksudkan kita harus memikirkannya untuk tetap melanjutkan perjalanan, jika tadi kita masih dekat dengan kota Daegu, mending kita kembali dan mencari penginapan disana sementara menunggu kabut pergi."
"Harusnya tadi kau bisa memutuskan sendiri dengan tegas, sebab aku tidak paham. Kau malah meminta pendapatku yang tidak paham." ejek Shin Hye. Yong Hwa langsung bungkam.
Lagi-lagi Shin Hye menunjukan padanya tentang sikapnya yang ragu-ragu, ejawantah dari sikapnya yang tidak gentle

Sebentar saja Shin Hye sudah terlelap. Pasti karena kecapean melakukan pekerjaan rumah di rumah Harmeoni. Yong Hwa menatap wajahnya lekat yang terlentang menyamping. Tangannya lalu ia lambaikan di depan wajahnya. Tidak ada reaksi, Shin Hye tampaknya benar-benar tertidur lelap. Yong Hwa lalu mengelus keningnya, menyibakan rambutnya ke belakang. Shin Hye tetap tidak terganggu.
"Kau tahu, aku merindukanmu setiap hari." bisik hatinya. "Aku ingin kita seperti ini setiap hari. Melihatmu tidur, melihatmu bangun dari tidur, melihatmu makan, melihatmu memasak... melihatmu melakukan hal apa pun seperti tadi. Setiap hari. Bisakah, Shin Hye-ya?" tatapnya kepada wajah yang terpejam dibawah lampu remang dari stasiun pengisian bahan bakar minyak itu.
"Atau aku harus menunggumu lagi? Berapa lama? Apa kau tidak akan memberiku kesempatan, sebab aku tidak seperti yang kau harapkan. Aku tetap tidak bisa bersikap seperti pria. Bahkan untuk hal yang mudah seperti sekarang ini aku tidak bisa mengambil keputusan tepat. Untuk menghindari kabut." lanjutnya.
"Mianhe, aku jadi membuatmu menderita seperti ini, Shin Hye-ya!" ucapnya sambil kembali mengelus kening Shin Hye, menyibakan rambutnya. Shin Hye malah semakin lelap.

Yong Hwa lalu menyandarkan punggungnya sendiri pada sandaran. Matanya menatap lurus ke depan yang tidak terlihat apa-apa. Hanya putih seperti kapas. Sementara suhu pun semakin rendah. Ia merapatkan resluiting jaketnya lalu menyilangkan kedua tangannya di dada. Lama-lama ia pun terpejam.

Bersambung...

Wuih... di bag selanjut'y author tdk tega unt publish tdk dikunci... sbb... sbb 😁😁 hihi... author memikirkan sesuatu yg dahsyat saat mrk t'jebak kabut tebal.

Ehm... what's that??? 😕

Akan author kunci sampe bag end... oke!

BELAHAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang