Kenapa Kalian Di Sini?

13.8K 1.3K 81
                                    

Mohon dukungannya selalu. Beri voment atau hanya vote tanpa komen saja itu sudah menghargai karya saya.

Salam sayang

Mm

Di kampus ini terletak di suatu perumahan mewah di Malang tepatnya Tidar. Jika dari luar memang suasananya menyenangkan karena banyak pohon cemara, perumahan yang berjejer rapi dan udara yang sejuk. Di sini banyak mahasiswa dari luar Malang. Aku bersahabat dengan Sasa gadis berkerudung pink karena dirinya suka warna pink.

Pertama kali menginjakkan kaki di kelas baru aku sudah merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduk merinding. Aku merasa ada sesuatu yang menakutkan. Aku sudah mencoba untuk tenang agar tidak terjadi sesuatu yang mengerikan. Awal-awal perkenalan berjalan lancar tanpa ada kendala di dalam kelas. Baru di saat siang hari merasa ada yang aneh di kelas ini. Yang tadi aku merasa suhu udaranya biasanya tiba-tiba saja udaranya naik menjadi dingin. Aku pikir karena pengaruh AC dan udara pengunungan tapi teman yang lain tidak merasakan. Sekali aku berpikir positif mungkin karena diriku yang masih baru tinggal di Malang harus menyesuaikan dengan suhu udara di kota ini.

"Hei ..."

"Hana ..."

"Ayo ke sini ..."

Nah mulailah siang itu mereka menunjukkan keberadaan mereka padahal tadi pagi masih belum ada. Aku sampai tidak konsentrasi mendengarkan penjelasan dosen mengenai sejarah kampus ini. Maklum ini adalah MOS untuk masa perkenalan. Lain dengan kampus lainnya. Kampus ini menerapkan MOS yang berbeda. Tidak ada yang namanya bully. Ya kita belajar untuk saling mengenal, seminar dan berdiskusi.

Sebenarnya aku sungguh tidak bisa berkonsentrasi saat mereka lewat di depanku. Jadi istilahnya aku ini sedang melihat model sedang berjalan di atas catwalk. Mereka memang tidak sampai mengganggu tapi rasanya tidak enak melihat mereka hilir mudik di depan.

"Hana ..."

Namaku dipanggil sambil tersenyum. Mereka itu wanita, pria dan anak-anak. Pakaian mereka sama seperti kita yang membedakan hanya wajah yang pucat dan pakaian yang lusuh.

Mereka berjalan layaknya manusia biasa, tetapi tidak menyentuh lantai. Kadang mereka bahkan tidak menyadari jika sebenarnya mereka adalah arwah yang gentayangan.

Selesai memperkenalkan diri dan saling kenal dengan semua dosen dan kakak pembina. Kami diarahkan ke sebuah gedung untuk seminar ( lupa aku seminar apa karena saking banyaknya seminar di sana) sambil jalan menuju gedung tersebut. Di pohon cemara, aku lihat sekelebatan bayangan hitam lari dari satu pohon ke pohon lainnya. Seperti kalian mau petak umpet. Mereka bersembunyi, melihat dan berlari di belakang pohon agar tidak ketahuan.

"Meskipun kalian bersembunyi dan diam-diam melihat aku maupun teman lainnya, tetap saja aku bisa merasakan kehadiran kalian," gumamku.

"Hana, lihat di sebelah kananmu."

Aku melihat sebelah kanan karena Felicia terus mendesakku untuk menoleh dan melihat apa yang dia katakan. Aku kira Felicia akan menunjukkan penampakan yang seram tapi di salah sudut bangunan aku melihat ada anak laki-laki yang aku perkirakan usianya sekitar 12 tahun. Dia berdiri menatap satu arah dan tidak bergerak sama sekali. Dia bukan anak Indonesia ( Pribumi dulu sebutannya) tapi anak dari campuran. Ada Belanda dan Indonesia. Kalau anak yang campuran terlihat jelas perbedaannya. Dia berkulit sawo matang, matanya biru dan rambutnya hitam. Dia melirik ke arahku dan tidak ada ekspresi.

"Ibunya adalah wanita sini tapi ibunya meninggal  sewaktu melahirkan dia."

Wanita sini maksudnya adalah wanita Indonesia yang menikah dengan orang Belanda. Dia anak laki-laki yang memakai celana selutut dan kemeja yang sudah pudar warnanya. Bau yang aku cium dari tubuhnya seperti bau baju yang apek sekali.

"Lihat apa, Hana?"

Ternyata Sasa memperhatikanku sejak tadi.

"Tidak lihat apa-apa kok."

Jujur selama aku kuliah di sini tidak pernah sekalipun aku menceritakan kelebihan ini karena sempat ada seorang kakak kelas sepertiku tapi dia tidak dipercayai dan dianggap semua itu bohong. Memang harus aku mengatakan jika ada kalanya anak kota tidak mempercayai hal-hal seperti itu. Biarlah itu hak mereka mau percaya atau tidak.

*****

Di kampusku selalu disediakan transportasi untuk mahasiswa/i yang tidak memiliki kendaraan. Salah satunya aku yang pulang pergi naik bus yang telah disediakan. Di bab sebelumnya aku pernah menceritakan jika aku pernah ke Museum Malang. Nah kebetulan bus yang aku tumpangi ini melewati Museum tersebut karena ada salah satu mahasiswi yang ngekos di daerah sekitar sana.

Tiap kali melewati Museum aku selalu melihat mereka yang sama sewaktu ke sana ketika SMA. Aku tahu mereka tidak akan pergi dari sana karena itulah tempat mereka di mana mereka menjaga dan melindungi semua hal yang ada di dalam maupun di luar Museum.

Oh, ya ada sebuah jalan di Ijen yang aku tidak tahu nomer berapa rumahnya. Ada sebuah rumah dengan suasana yang suram bercat putih. Jika memang orang awam akan mengganggap rumah itu unik tapi menurutku rumah itu seram dan suram karena banyak penghuni.

Penghuninya adalah orang belanda. Ada wanita dan pria. Mereka seakan-akan menyelenggarakan pesta karena ada suara musik yang terdengar meski aku berada di dalam bus. Ah ... mereka tidak menyadari jika sebenarnya sudah tiada. Mereka terlihat asyik menikmati pesta tersebut. Mereka memakai pakaian khas Belanda yang wanitanya sedangkan sang pria memakai jas. Ya, seperti pakaian pesta orang Belanda.

Sampai aku lulus dari kampus mereka masih di sana dengan melakukan hal yang sama tiap sorenya. Jam kuliahku memang sampai sore jadi aku bisa tahu mereka selalu ada di sana tiap jam lima sore.

*****

Hari itu kebetulan aku lagi malas naik bus karena rame sekali. Akhirnya aku menumpang naik sepeda motor bersama teman. Tempat parkir yang lumayan jauh membuat kami harus jalan menuju tempat parkir yang terletak di lantai dasar.

Jika bukan karena bus yang rame, aku tidak akan pernah mau naik sepeda motor. Bukan karena Sasa tidak mahir, tetapi di tempat parkir itu seram. Tiba-tiba saja saat berjalan beriringan dengan Sasa, pundak ini ditepuk oleh seseorang. Aku melihat arah belakang, akan tetapi tidak ada penampakan, samping kiri dan kanan tidak ada. Lalu aku melihat ke atas. Ah, ternyata ada makhluk tinggi besar, hitam dan menyeringai. Untung dia tidak mengganggu. Namun, tetap saja diriku merasa risih dan takut melihat wujud dia apalagi tempat parkir tersebut pencahayaannya kurang.

"Ada apa, Hana?"

Aku hanya bilang dengan mulut lebar sambil melihat atap.

"Tidak apa-apa. Ini loh kok lampunya bergoyang," jawabku berbohong.

"Kena angin mungkin."

Jawaban yang tepat untuk mengusir ketakutan. Padahal kenyataan bukan kena angin melainkan digoyangkan oleh dia dengan iseng. Aku tahu dia mau berkenalan, tetapi tidak kuhiraukan.

Sasa terburu-buru melajukan sepeda motornya setelah kami meninggalkan tempat parkir itu. Aku tidak pernah cerita ke Sasa jika waktu itu kami dilirik dan diperhatikan oleh si om.

Tbc

Jika kalian warga Malang pasti kalian tahu kawasan Ijen di mana rata-rata bangunannya berarsitektur Belanda.

Hana's Indigo (True Story) ( Repost Ulang Sampai Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang