Mohon dukungannya selalu. Beri voment atau hanya vote tanpa komen saja itu sudah menghargai karya saya.
Salam sayang
Mm
"Kami menunggumu, Hana."
*****
Pertengahan Februari 2011 aku dan kakak pindah ke tempat kos yang baru. Bukannya tidak enak tinggal di kos yang lama, tetapi pemghuni kos semakin rame. 20 kamar dihuni oleh dua orang. Jadi rame banget tiap malam.
Kebetulan kos kami masih di kawasan yang sama, beda gang saja. Sewaktu kami mencari kos sebenarnya ada yang berbisik ke telingaku.
"Pergi ke sana. Di gang sebelah."
"Ada yang ingin kami tunjukkan kepadamu, Hana."
Bisikan itu ramai sekali dan mengganggu. Akhirnya aku dan kakak sore itu mencari kos yang dikatakan oleh mereka melalui bisikan. Ternyata memang benar di gang sebelah ada kos dan kos ini adalah satu pemilik dengan kos yang lama.
"Selamat datang, Hana."
Sapaan khas seorang anak ketika masuk melihat kamar kos yang akan tempati minggu depan. Aku pura-pura tidak melihat mereka tapi sial mereka malah melihat mataku.
Mereka bisa mengenali manusia yang indigo hanya melalui pandangan mata dan panggilan.
"Kami sudah menantimu lama."
"Kami tahu kamu bisa melihat kami, Hana."
Godaan besar saat mereka mulai menyentuhku di bagian pundak. Ingin aku hiraukan tapi tidak bisa karena telingaku panas mendengarkan perkataan mereka. Akhirnya aku membuka suara tapi tidak bicara di mulut. Aku berbicara melalui suara di hati.
"Iya aku bisa melihat kalian. Lalu kalian mau apa?"
"Kami ingin kamu di sini, Hana."
"Yang nentuin kos siapa yang bayar siapa? Kok mereka menyuruhku menempati kos ini," gumamku saat itu.
Kakakku memilih kos ini pada akhirnya. Kami tidak mau memilih kamar atas lagi. Kamar yang akan tempati berada di lantai satu paling ujung dekat pintu masuk.
Oh, ya sebelum kami melihat kamar yang akan tempati sebenarnya kamar ini dihuni oleh seorang anak kecil lelaki bertubuh kecil dan kurus.
"Kami memilih kamar ini. Boleh tidak jika kami menempati kamar ini sampai kami pergi dari kos ini nantinya?"
Aku meminta ijin kepada anak kecil itu yang sudah menempati kamar ini entah sudah berapa lama. Anak kecil tersebut tidak berkata apapun hanya tersenyum dan pindah menghilang begitu saja. Ya, akhirnya kami menempati kos ini minggu depan menunggu awal bulan.
"Kami akan menunggu kamu, Hana."
Yang menyapa aku dan menyuruh kami di sini adalah dua anak kecil yang usia belasan. Mereka adalah kakak dan adik. Awalnya aku tidak tahu mengapa kakak adik itu memanggilku untuk menempati dan memilih kos ini padahal masih banyak kos di kawasan Tidar. Akhirnya aku mengetahui jika mereka meminta tolong.
Kami lama tinggal di kos ini selama 4 tahun. Betah? Tentu saja karena anak-anak kosnya tidak rame dan banyak. Ada hanya 10 orang saja. Lagipula penampakannya tidak seseram di kos lama meskipun kedatangan mereka tidak terduga. Tiba-tiba saja mereka menemani aku di tempat cucian atau tempat seterika baju. Mereka tidak mengganggu hanya berjalan tidak tentu arah, melihatku sebentar. Kadang senyum, kadang melengos pergi begitu saja. Ya, aku anggap biasa saja bahkan sempat jalan beriringan dengan sesosok wanita saat mau ke dapur. Wanita itu berjalan (melayang mungkin ya) dengan cepat. Dia bahkan menyenggol bahuku saat berjalan di sisi kanan.
"Aduh ..."
Setelah tidak sengaja menabrak, dia berhenti sejenak, berdiri di depan sambil menatapku dari bawah hingga ke atas kemudian berbalik badan lalu hilang. Aku sering disenggol olehnya dan reaksinya tetap datar dan tidak menunjukkan keheranan karena aku bisa melihat dia. Aku menyebutkan wanita pelari. Karena dia sukanya berlarian sambil menabrak atau menyenggol. Masalahnya aku tidak bisa menghindar saat dia muncul karena kedatangannya tidak tahu kapan.
*****
Hal aneh dan ganjil berikutnya yang aku temui di kos ini adalah suara rantai yang dibuat jalan. Jika aku ilustrasikan seperti seorang tahanan yang memakai borgol rantai yang diikat di kakinya. Jadi saat jalan pasti berbunyi bebarengan dengan derap langkah kaki. Aku sering mendengar suara itu saat hujan. Kakakku juga mendengarnya.
Pertama kali kami pikir itu suaranya air yang jantung mengenai tempat jemuran yang terbuat dari besi karena bocor atapnya. Kami mengganggap biasa saja tapi kami heran bunyi itu masih ada saja saat kanopinya diperbaiki.
"Kamu dengar suaranya?"
Aku mengiyakan ucapan kakakku. Malam itu saat hujan, akhirnya tahu siapa yang berjalan menggunakan rantai tersebut. Pada awalnya dia tidak menunjukkan wujudnya, tetapi akhirnya aku mengetahui saat tanpa sengaja melihat dia berjalan sambil memegang rantainya yang panjang dan menunduk sedang berjalan di depan kamar.
Dia seorang ibu dengan rambut sepinggang yang berjalan dengan sambil menahan sakit yang ada di kakinya. Bagaimana rasanya jika kaki kalian di rantai lalu dipakai berjalan? Pasti tidak enak dan sakit tentunya. Aku dan kakak memanggilnya tante rantai.
Tante rantai tersenyum ke arahku. Senyuman seorang ibu yang hangat. Beliau menatapku sejenak lalu pergi dengan suara rantai yang berbunyi nyaring. Aku langsung mengintip ke mana arah perginya. Ternyata tante rantai itu menuju sebuah kamar di ujung dekat kamar mandi dan memang kamar itu selalu kosong. Tidak ada yang betah di kamar itu. Entahlah apakah karena kurangnya pencahayaan atau dekat kamar mandi jadi kamar itu tidak ada yang menempati. Terakhir kali aku di sana kamar itu dijadikan gudang.
"Kalian di mana?"
"Aku harus mencari kalian."
Itulah sepenggal kalimat yang sering dilontarkan oleh beliau sambil berjalan dan mengelilingi kos ini terutama saat hujan turun.
Beliau kadang menangis tiap malam di kamar belakang tersebut. Tangisan yang merintih dan menyayat. Rasanya tangisan itu menggambarkan suatu kehilangan yang sangat berharga. Aku belum bisa memastikan waktu itu karena apa? Aku juga ingin mengetahui kisah hidupnya tapi beliau tidak mau menatap mataku.
Di Malang jika sudah musim hujan pasti tidak kenal waktu. Sore sepulang dari kampus dan kebetulan hujan deras. Aku berpapasan dengan tante rantai. Aku tertegun sejenak saat beliau menatap mataku. Bukan pandangan yang mengerikan tapi lebih merupakan pandangan kesedihan.
Dari tatapan matanya aku bisa melihat dengan jelas apa masa lalunya. Rupanya beliau adalah seorang istri dari tuan tanah di jaman dulu. Kos yang sekarang adalah bekas tanah rumahnya. Beliau meninggal karena kesepian. Suaminya menikah lagi dan sering menyiksa tante ini. Suaminya memperlakukan beliau tidak manusiawi. Kakinya di rantai, di kurung di kamar dan tidak boleh bertemu anak - anak. Mengenaskan, bukan?
Tiap penggalan ucapan yang beliau lontarkan adalah mencari anak - anaknya yang sampai meninggal tidak pernah dipertemukan oleh suaminya.
"Tante, mengapa masih di sini?"
"Saya harus mencari mereka."
"Mungkin mereka sudah berada di tempat yang tenang."
"Ada saat nantinya, Hana."
Tante rantai itu hanya tersenyum saja sambil berjalan lagi. Seandainya aku bisa menolongnya tetapi beliau merasa enggan untuk pergi saat itu.
Selama hampir 4 tahun aku dan kakak selalu mendengar suara rantai yang berjalan di kala hujan. Kalau kakak hanya mendengarnya hanya samar - samar tapi beda dengan aku yang sangat jelas. Selama beliau tidak mengganggu tidak jadi masalah.
Tbc
Karena sudah biasa mendengar suara rantai itu meski samar aku tidak merasa takut apalagi saat Hana pindah ke Surabaya dan aku masih di Malang untuk kerja. Tante itu masih ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hana's Indigo (True Story) ( Repost Ulang Sampai Tamat )
TerrorKarena banyak kesalahan dalam ejaan maka saya akan memperbaiki tiap babnya dan ada sebagian yang tidak saya publish di sini. Dan cerita ini akan terbit Non Exclusif dan akan publish sampai tamat. Ini tentang Hana. Sejak kecil sudah memiliki kemampua...