Kematian Nenek

9K 1K 63
                                    

Mohon dukungannya selalu. Beri  voment atau hanya vote tanpa komen saja itu sudah menghargai karya saya.

Salam sayang

Mm

*****

Setelah kematian om dan dia mendatangi aku untuk mengucapkan salam perpisahan kini giliran nenek yang aku sayangi pergi meninggalkan kami sekeluarga.

Pada tahun 2013 di bulan Mei aku di telepon mama sewaktu aku kuliah. Aku terkejut saat mendengar telepon dari mama. Memang sedari kemarin aku merasakan ada perasaan yang tidak nyaman. Aku seperti orang bingung dan linglung. Saat itu aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya mengganggap hal yang biasa tetapi aku salah besar.

Di sore hari itu aku dan kakak keduaku segera pulang ke rumah untuk melihat nenek sebelum di tutup peti matinya tapi sayang kami tiba terlalu malam sehingga mereka memutuskan menutup peti mati nenekku. Nenek dan kakek adalah orang Budha.

"Nenek sudah meninggal, Hana."

"Hana yang tabah ya?"

Banyak orang- orang yang menguatkan kami agar bisa merelakan kepergian nenek. Aku bisa melihat arwah nenek yang masih di rumah. Aku bisa mencium bau nenek tapi nenek hanya bisa menatap tubuhnya yang sudah kaku di peti. Di sana aku hanya diam saja tanpa mau berkata apapun. Kami masih syok atas kepergian nenek yang tiba - tiba.

Kata mama pagi itu nenek mengeluhkan kepalanya pusing dan mama menyuruh istirahat di kamar daripada membaca koran. Nenek jalan ke dapur tetapi belum sampai ke kamar nenek keburu jatuh ke lantai. Mama yang saat itu sedang memasak kalut dan khawatir karena nenek jatuh. Mama segera menelepon rumah sakit terdekat dan memanggil ambulance juga.

"Sebelum ambulance datang. Nenekmu sudah tiada, Hana. Kakek bisa merasakan hal itu."

Aku bisa merasakan kehilangan yang di rasakan kakek karena tepat di depan mata kakek melihat langsung nenek pergi untuk selamanya.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk semua keluarga ternyata membawa dampak yang buruk bagi kehidupan kami. Andai saja dulu kami tidak membeli dan membangun rumah ini mungkinkah kami tidak mengalami peristiwa ini? Entahlah aku tidak dapat memahami semuanya. Mungkin Tuhan punya rencana lain.

Aku dan kakak pulang ke Malang dulu tidak ikut ke pemakaman nenek karena aku ada ujian. Selama perjalanan menuju Malang aku tidak hentinya berpikir apakah semua ini ada sangkutpautnya dengan rumah yang kami tempati?

Kata tetangga yang sedang bicara dengan yang lainnya rumah kami ini sudah banyak makan korban. Bukan hanya penyakit, meninggal tetapi usaha yang di bangun lama -lama akan mundur. Memang buktinya sudah ada. Semakin lama rumah ini tampak menyeramkan. Di rumah ini terkadang ada bunyi suara langkah kaki yang di seret tetapi aku masih belum bisa melihat siapa dia.

*****

Setelah aku menyelesaikan ujian di kampus dan tempat kerja kakak libur karena liburan sekolah maka kami memutuskan untuk pulang dan nyekar ke makam nenek.

Saat kami menuju makam nenek di sekelilingku banyak makam- makam yang berjejer. Sebenarnya untuk saat itu aku tidak ingin melihat mereka tapi karena ini tempat kediaman mereka ya mau tidak mau aku harus berhadapan dengan tatapan mereka yang menyedihkan atau dingin.

Di sini ada dua pemakaman umum. Sebelah sisi satunya makam untuk khusus nonmuslim dan agak jauh ada makam Muslim. Yang namanya pemakaman pasti ada pohon - pohon yang menjulang tinggi dan di sanalah mbak kunti nongkrong sambil melihat ke arah kami dan tanpa sengaja mataku bertatapan dengan matanya.

Dia tidak tersenyum atau tidak bicara sepatah katapun hanya melihatku sebentar dan memalingkan wajahnya. Aku pikir dia tahu jika aku baru saja kehilangan nenek jadi tidak mau mengganggu. Di makam ini aku bukan hanya melihat mbak kunti, pocong tetapi juga orang - orang yang memakai pakaian pada jaman dulu.

"Hai Hana."

Kakek tua yang pernah aku temui sewaktu meninggal papa kembali datang menyapa aku.

"Beginilah kehidupan. Akan ada waktunya kami di panggil kembali menghadap yang di Atas."

"Siap atau tidak itulah namanya kehidupan."

"Apakah kakek sudah di kunjungi (nyekar) oleh anak - anak kakek?"

Kakek itu hanya tersenyum dan tidak memberi jawaban.

"Sayangilah orangtuamu sebelum semua terlambat, Hana. Jika mereka sudah tiada sering - seringlah kesini (makam) untuk sekedar melihat dan berdoalah untuk mereka."

Acapkali aku kesini entah itu di hari raya atau hanya sekedar nyekar aku sering melihat kakek ini yang duduk di atas makamnya. Aku juga sudah biasa melihat kerumunan anak kecil yang berkeliling dan bermain di makam ini.

"Ayo main bersama kami."

"Di sini kami kesepian."

Aku kasihan melihat anak - anak ini yang masih kecil sudah meninggal. Mereka meninggal ada yang sakit atau karena suatu hal yang tidak bisa aku jelaskan disini. Mereka bernyanyi, bersenandung dan belarian kecil sambil bergandengan tangan.

Di makam ini aku sempat melihat ada yang sudah meninggal lebih dari setengah abad. Banyak dari mereka yang masih ada di depan pusaranya. Ada juga yang sudah pergi dengan tenang. Mungkin tiap malam mereka akan lebih banyak dan berkumpul. Aku tidak tahu juga tidak mungkin malam - malam aku kesana, bukan?

Kembali ke ceritaku di awal saat aku menyekar ke makam nenek. Aku mencium bau harum di sekelilingku saat aku berdoa aku mendengar suara lembut nenek di telingaku.

"Nenek baik - baik saja, Hana. Nenek sayang kalian. Katakan kepada mamamu kalau nenek baik- baik saja. Nenek pergi karena nenek sakit."

"Nenek tidak menyalahkan siapapun."

Aku tidak dapat melihat nenek hanya suara nenek dan bau harum dari nenek yang aku rasa. Aku kira nenek merasa jika kami masih sedih akan kepergian nenek yang tidak sakit. Nenek memang tidak pernah mengeluhkan sakit apapun hanya mengeluh sakit kepala saja. Kami baru tahu jika nenek memiliki riwayat sakit yang serius dan tidak mau merepotkan kami karena masalah biaya.

Aku sempat bertanya kepada kakek dari mana kakek tahu jika nenek sudah meninggal sebelum di bawa ke rumah sakit.

"Kakek bisa merasakan tatapan nenek yang semakin lama semakin memudar dan menutup dengan perlahan. Kakek bisa merasakan ada sesuatu yang kosong di sini( dada kakek)."

Pada akhirnya rumah yang menjadi impian kami perlahan - lahan telah merenggut kebahagian kami. Aku harap tidak ada lagi korban di rumah ini selain kami. Cukup kami saja yang menderita dan tertimpa musibah menempati rumah ini.

"Ma, kapan mama pergi dari rumah ini?"

"Entahlah Hana. Mama masih menunggu waktu saja."

Tidak perlu aku cerita secara mendetail mengapa rumah ini bisa sampai terjual dan tidak tersisa apapun lagi. Cukup kami saja.

Di bab selanjutnya sebelum kami benar - benar pergi dari rumah itu. Ada hal yang membuat kami ketakutan setengah mati di saat malam.

Tbc

Rumah itu sampai sekarang masih belum terjual oleh orang - orang. Entahlah ada apa penyebabnya. Kami tidak tahu.

Hana's Indigo (True Story) ( Repost Ulang Sampai Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang