Tentang Dirinya

83K 9.2K 306
                                    

Budayakan vote sebelum membaca. Itu sudah menghargai saya sebagai penulis.

Salam sayang

Mm

"Di manapun kau berada. Kau bisa melihat mereka."

Seorang gadis berjalan dengan menundukkan kepala ke bawah. Ia tak ingin melihat ke depan. Di kedua telinganya terpasang earphone. Entah lagu apa yang ia sedang dengarkan. Semua orang menatapnya aneh. Berjalan menunduk, mengenakan jaket Hoddie yang menutupnya dan mendengarkan lagu melalui earphonenya.

Tak semua orang menyadari jika dalam ketundukan kepalanya ke bawah. Ia sedang bergumam sendiri. Merutuki nasibnya yang berbeda dengan yang lain. Semua orang termasuk keluarganya tak pernah percaya dengan apa yang ia lihat, ia sentuh atau dengan siapa ia berbicara. Apakah ia gila? Tidak. Hanya saja ia berbeda dari kebanyakan orang.

"Hana ....!"seru sebuah suara yang ada di belakangnya.

Gadis yang dipanggil namanya itu menoleh sekilas ke belakang, tersenyum sebentar kemudian berpaling lagi.

"Aku tahu kau mendengarkanku, Hana," ucap sebuah suara yang sudah berada di sampingnya.

Hana begitu nama gadis itu biasa dipanggil.

Hana tak menggubris sapaan itu. Ia hanya fokus melihat jalan yang ada di bawahnya dan berkata dalam hati ia akan sampai di rumahnya.

Tidak butuh lama akhirnya ia sampai di depan rumahnya. Membuka pintu depan dan masuk meninggalkan seseorang yang mengikutinya sedari tadi.

"Aku tahu kau bisa melihatku, Hana," ujar gadis berambut pendek sebahu dengan luka tembak di pelipisnya.

******

"Aku pulang," sapa Hana ketika sampai di rumah.

Sudah menjadi kebiasaan Hana maupun saudaranya menyapa penghuni rumah ketika pulang dari luar.

"Ma, di mana?" Hana memanggil mamanya. Ia mencari keberadaan ibunya di dapur tempat favorit sang ibu.

"Kok, tidak ada. Kemana sih, mama?" tanya Hana di dalam dirinya saat tak menemukan ibunya di dapur.

Mungkin di dalam kamar.

Hana segera menaiki anak tangga menuju lantai atas. Tempat mama dan papanya tidur. Perlahan ia menaiki lantai yang berderit. Suara itu menimbulkan bulu kuduknya berdiri walaupun sejak kecil ia sering naik turun anak tangga itu tetap saja ia merasakan hawa dingin yang menyergap tubuhnya. Dulu kamarnya berada di sebelah kamar mama dan papanya, tetapi peristiwa yang dulu membuatnya terpaksa pindah ke lantai bawah. Kamarnya yang dulu digunakan kakak lelakinya, Theodore.

Hana memegang penyangga tangga dulu sebelum ia melangkah maju. Menghela nafas dan kembali melangkah. Melihat sejenak kamar yang pernah ia pakai. Bergidik itulah yang di rasakan Hana sekarang. Sudah lama ia tak ke kamarnya. Hampir tujuh tahun.

Kreet ...kreet ...

Pintu kamar itu ( kamar Hana yang dulu) terbuka dengan sendirinya. Ia yakin kakaknya tidak ada dirumah saat ini. Hana terkejut bukan main saat pintu itu sudah terbuka lebar. Ia memejamkan matanya untuk menutupi rasa takutnya. Namun, ia penasaran. Hana melihat kamar kakaknya oh bukan. Sekarang yang Hana lihat bukan kamar kakaknya, tetapi kamar dirinya di masa kecil. Ia melihat dirinya di masa kecil bermain boneka yang diberi nama Shinta. Ia menyuapi boneka itu seakan-akan boneka itu merasa lapar.

"Hana, sejak kapan kamu pulang sekolah?" tanya ibunya yang mengejutkan Hana.

"Mama mengagetkanku,"ucapnya dengan gusar.

"Maafkan mama." Sang ibu tertawa melihat ekspresi anaknya.

"Ayo masuk ke sini." Sang ibu mengajaknya masuk kamar kakaknya.

"Tapi Ma ..."sela Hana karena ia benar-benar tak ingin masuk ke sana.

"Untuk apa kamu takut, Hana? Lihatlah tidak ada siapapun di sini."

"Sampai kapan kamu seperti ini? Sudah tujuh tahun kamu tidak mau mendekati kamarmu sendiri. Ayolah Nak. Jangan takut."

Anak? Tunggu dulu sejak kapan mamanya memanggil dirinya dengan "Nak"?

"Kamu siapa?" tanya Hana dengan rasa takut yang mencekam.

"Ini mama, Nak," jawab ibunya yang mulai mendekati dirinya dan memegang pundaknya. Dingin.

"Kau pasti bukan mamaku?" ulangnya lagi.

"Mengapa kau tak percaya?"

"Sudah aku katakan kau bukanlah mamaku!" jerit Hana seraya berlari menuju pintu keluar.

Brak...

Pintunya tertutup dengan kencang membuat Hana tak bisa membukanya. Hana mulai menangis. Bukan ini yang ia inginkan. Mereka adalah golongan yang tak baik. Hana dicekam rasa takut.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Hana dengan teriak.

"Tidak ada Hana. Kami hanya ingin berteman denganmu."

"Lepaskan aku!" erang Hana saat kerah bajunya ditarik paksa oleh 'mereka'.

"Kami tak melepaskanmu. Hanya kau yang mampu menolong kami."

Hana memegang gagang pintu berharap segera dibuka. Beberapa kali ia membuka, tetapi tak berhasil. Setelah berjuang untuk bebas dari kumpulan makhluk itu akhirnya pintu kamar itu terbuka. Namun naas bagi Hana, ia tersandung kakinya sendiri saat mencoba berlari.

Sakit itulah yang dirasakan saat tubuhnya terjerembab ke lantai yang keras. Penglihatannya mulai samar. Dalam kesamaran matanya ia masih bisa melihat sekilas 'mereka' di sana. Berdiri mematung memandangi Hana. Diam tanpa kata. Tak ada senyuman. Datar.

"Hana, apa yang kau lakukan di dapur?" Sang ibu mendapati Hana sedang tertidur di meja makan.

Hana membuka matanya perlahan. Ia sedikit terkejut saat mendapati dirinya tengah tertidur di atas meja makan.

"Kalau Hana mengantuk. Tidur di kamar. Bukan di sini," tegur ibunya.

"Mama dari mana?" tanya Hana masih dengan wajah lelahnya.

"Mama tadi ke toko sebentar. Bahan di dapur sudah habis," jawab mamanya singkat.

"Cepat ganti seragammu. Bantu mama di dapur jika kau tak tidur," pinta mamanya untuk membantu.

"Hmm ..."Hanya gumaman yang keluar dari bibirnya.

Ketika beranjak dari tempat duduknya. Hana merasakan sakit di pinggangnya seperti habis jatuh. Ia melihat ada memar di lututnya. Jika itu hanya mimpi kenapa ia bisa jatuh? Hana bingung.

Hana berjalan menuju kamarnya. Melihat ke lantai atas. Terperangah saat 'mereka' masih di sana. Hana segera bergegas masuk ke kamarnya. Takut itu yang di rasakannya saat ini.

"Jadi itu bukan mimpi?" gumam Hana pelan.

Tbc...

17 Oktober 2017

Hana's Indigo (True Story) ( Repost Ulang Sampai Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang