Part 2 ✅

4.2K 209 2
                                    

Pulang ke rumah ya, Ra! Jangan nganclong!

Ucapan Andin terngiang begitu jelas di telinga Kiara. Pasalnya, sekarang Kiara bukan pulang ke rumah. Melainkan ke tempat dimana ia biasa menenangkan diri. Yaitu, warung mie ayam. Haha.. Se-sederhana itu memang.

"Satu mangkok bu" pesannya kepada ibu-ibu penjual mi ayam

Tak menunggu lama, pesanan Kiara pun datang. Ia pun menuangkan sambal ke mangkoknya.

"Udah cukup neng, nanti maag nya kambuh" si tukang mi ayam memperingati Kiara.. Hmm, peduli.

"Nggak kok bu, saya kebal.. Lagian cuma tiga sendok"

Cuman tiga sendok lo bilang?! Woey! Perut lo tuh sensitif, Ra! Sesendok aja perut lo demo! Jangan aksi deh lo!

Kiara teringat peringatan Cathrin. Namun, apa boleh buat? Kiara terlalu nafsu hari ini. Pedas memang obat dari semua masalah.

Tidak berlama lama disitu, Kiara menghabiskan semangkuk mi ayam dengan lahapnya. Lalu, ia membayarnya.

Tadinya, Kiara ingin saat ia pulang ke rumahnya disambut dengan baik oleh kedua orang tuanya. Kenyataannya? Ternyata berbanding terbalik dengan ekspetasinya. Kiara tersenyum miris begitu sampai di depan pintu rumahnya.

"Aku pulang!!" ucap Kiara sambil membuka pintu rumahnya yang besar.

"__" tidak ada jawaban.

Kiara celingukan. Dan, di ruang tengah, ia melihat ayah dan ibunya sedang bercanda ria dengan adiknya. Anak bungsu di rumah itu.

Kiara langsung down. Tapi, Kiara menguatkan hatinya untuk menghampiri mereka. Ya, walaupun Kiara lelah.

"Ma, pa, kakak udah pulang!" Kayla, adik Kiara. Papa mama nya hanya menengok sekilas.

"Tumben kamu pulang jam segini. Biasanya juga sore. " ucap mamanya. Nadanya biasa, namun dingin.

"Aku pulang cepet hari ini, ma"

"Pulang cepet, apa kabur?" tak disangka, papanya akan berkata seperti itu.

"Emang pulang cepet, pa.. Tanyain aja ke temen-temen aku." Kiara masih bisa mempertahankan bentengnya dari serangan selaput cairan bening yang memaksa untuk keluar dari matanya.

"Temen-temen kamu? Pasti mereka udah kamu provokasi. " papanya semakin sarkastik.

Kiara mematung di tempatnya. Betul, ia kali ini disambut oleh orang tuanya. Namun, bukan penyambutan seperti ini yang ia inginkan. Kayla hanya diam, seperti biasa. Menonton perang dingin.

"Tapi Kiara hari ini pulang cepet kok, pa.. Nggak kabur. Maaf, Kiara mau ke kamar"

Runtuh sudah benteng pertahanan yang ia buat di matanya. Selaput cairan bening di matanya itu sangat ganas. Mereka memaksa keluar. Kiara masuk ke kamarnya dengan hujan di matanya.

"Gue pengen disambut, tapi nggak kayak gini caranya!" Kiara mengamuk, menangis dan membanting apa yang bisa dibanting di kamarnya. Untungnya, kamarnya berada di ujung lantai dua. Jadi, tidak ada yang bisa mendengarnya.

Kiara terus bertahan dalam kondisi seperti itu sampai akhirnya dia benar benar lelah dan ketiduran. Tidur masih dengan memakai baju seragam dan tidak makan malam.

Keesokan paginya, Kiara bangun dengan sejuta harapan mengisi hati Kiara. Namun, tiba-tiba Kiara teringat perlakuan orang tuanya sebulan terakhir. Teramat sangat menyakitinya. Kiara pun turun untuk sarapan

"Ngapain kamu semalem nangis?" itulah sambutan dari papanya

"Kiara nggak nangis."

"Bohong. Mata kamu bengkak."

"Terus, apa masalahnya kalo Kiara nangis?"

"Jadi cewek nggak boleh lemah. Digituin aja nangis."

Kiara tersentak oleh kata-kata papanya. Ia tidak mengira akan disambut se-perih ini.

"Pagi kak!" sapa Kayla

Kiara menatapnya sekilas. Jika tatapan bisa membunuh, maka itulah tatapan yang Kiara berikan kepada Kayla. Namun setelahnya, Kiara tersenyum tipis kepada adiknya.

"Tumben siangan dek?" tanya Kiara sambil mengoles selai di rotinya.

"Eumm.. Aku kesiangan.. Hhee" jawab Kayla malu-malu. Dan Kiara menunggu respon dari sang papa.

"Kayla sayang, lain kali, jangan nonton film sampe malem ya.. Biar nggak kesiangan lagi.. Oke? " ucap papanya sambil mengacak rambutnya pelan.

"Siap pa!"

*duar* pistol di batin Kiara melesat tepat di foto papanya. Kiara tidak mengira jika respon papanya akan seperti itu.

***

9 tahun lalu..

Kiara terburu-buru menuruni tangga di rumahnya. Ayahnya sudah meneriakinya dari bawah. Memanggilnya untuk segera sarapan.

"Maaf ya, pa.. Kiara kesiangan" ucap Kiara sesaat setelah menduduki tempatnya di meja makan.

"Kenapa kamu bisa kesiangan?" tanya papanya dingin

"Habis nonton video tari pa. "

"Nari lagi?! Kamu masih nari?!" papanya mulai menyentaknya

"Emm.. Iya pa" Kiara mulai takut menjawabnya.

"Mulai sekarang, papa nggak ngizinin kamu buat pake DVD player, ataupun laptop! Kamu juga harus berhenti nari! Mau jadi apa kamu dengan pinter nari?!"

Kiara hanya terdiam mendengarkan semua perkataan papanya. Ia ingin menangis, tapi apa boleh buat? Papanya melarang keras dirinya untuk menangis.

"Ayo berangkat! Kesiangan kan kamu jadinya!" ajak papanya.

Kiara pun berangkat ke sekolahnya. Di mobil, yang terdengar hanyalah suara mesin mobil dan AC. Selain itu, yang ada hanyalah keheningan.

***

Sebenarnya, Kiara berharap supaya papanya menyita handphone dan laptop adiknya. Tapi, mau bagaimana lagi. Kayla adalah anak kesayangan papa. Tidak mungkin jika papa mengambil semua fasilitas yang diberikan kepada Kayla. Kiara hanya tersenyum tipis, miris, dan sinis.

"Kiara berangkat duluan."

"Mau kemana, kak? Kan hari ini kakak libur" tanya Kayla dengan polosnya, seakan tidak akan terjadi apa-apa.

"Kakak ada acara. "

"Acara apa kak?"

"Hih! Kamu! Nanya mulu. Acara acara kakak, kenapa kamu yang repot?!" Kiara sudah mulai kesal terhadap adiknya.

"KIARA! KAMU NGGAK BOLEH GITU KE ADIK KAMU!" papanya membentaknya. Lagi.

Kiara yang seakan sudah kebal, menjawabnya sambil berjalan keluar.

"Sanggar. " Kiara langsung menutup pintu rumahnya dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Ya, sanggar tari. Tempatnya meluapkan semua emosi-nya. Dia suka menari sejak kecil. Tapi, pada umur sekitar 7 tahun, dihentikan oleh papanya. Ia dilarang keras menari.

Tapi, bukan Kiara namanya jika menyerah begitu saja. Umur 8 tahun, ia mulai masuk sanggar dibekali uang dari neneknya tersayang. Hingga sekarang, bukan lagi Kiara yang membayar di sanggar itu. Namun, sanggar tari yang membayarnya.

Rapuh [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang