"Yuk, masuk.." ajak Gilang.
"Kenapa lo nggak cerita?"
Itu sudah pertanyaan kelima yang Kinara lontarkan kepada Gilang sedari tadi. Masih sama dan Gilang masih belum menjawab.
"Gilang? Jawab gue." Nada bicara Kinara melemah, seakan air matanya akan tumpah.
Gilang pun menoleh. "Nanti habis kalian ketemu, gue jelasin."
Mereka pun sampai di depan ruangan milik Ferry. Papanya Kiara yang juga papanya Kinara. Kinara terdiam di pintu melihat Ferry yang sedang dijagal oleh beberapa penjaga. Ferry terlihat berontak.
"Papa?" ucap Kinara pelan. Gilang menggenggam tangan Kinara, berusaha menguatkannya.
Ferry pun menoleh bersamaan dengan terhentinya berbagai macam gerakan pemberontakan yang ia lakukan sejak tadi. Hal itu dimanfaatkan oleh seorang suster untuk menyiapkan suntikan penenang. Hal itu disadari oleh Kinara.
"Jangan! Jangan disuntik! Biar saya yang urus. Saya anaknya. Kalian boleh keluar," ucap Kinara tegas.
Tak lama, para penjaga dan beberapa suster itupun keluar. Kinara duduk di kursi di samping ranjang milik Ferry. Ferry diam memperhatikan Kinara yang duduk.
"Hai, Pa.."
Senyum Kinara mengembang disana. Ia bahagia akhirnya dapat bertemu dengan papanya.
"Kiara?" panggil papanya pelan.
Senyum diwajah Kinara mulai padam. Dia disini harus berperan sebagai Kiara. Bukan sebagai dirinya sendiri. Namun, Kinara sanggup.
"Ya?"
"Kenapa kamu pergi?"
Kinara menatap mata papanya. Tangannya menggenggam tangan papanya.
"Papa mau jalan-jalan ke taman? Nanti pake kursi roda, aku yang dorong."
Ferry mengangguk. Gilang pun mengambil kursi roda di pojok ruangan dan membantu Om Ferry duduk di kursi roda.
"Gue aja," tolak Kinara saat Gilang mendorong kursi roda papanya.
Mereka lalu menyusuri koridor. Tadi sempat ada suster yang melarang, namun Kinara meyakinkan bahwa papanya akan baik-baik saja bersamanya.
Kini, mereka sudah berada di taman rumah sakit. Kinara meminta tolong Gilang untuk membelikan alat pembuat gelembung balon. Gilang membeli tiga ternyata.
"Pa.. Papa tau? Aku suka main ini," ucap Kinara sembari memainkan alat itu.
Papanya menoleh dan menatap Kinara. Tangannya memegang alat pembuat gelembung. Gilang juga memainkan alat miliknya.
"Maafin papa."
Sontak, Kinara dan Gilang menghentikan aktivitasnya.
"Maafin papa. Papa nggak pernah perhatiin kamu. Papa lebih perhatiin mama dan adik-adik kamu. Maafin papa, Kiara. Maaf.."
Kinara terkejut atas pernyataan papanya. Setau Kinara, Kiara bahagia hidup dengan keluarga barunya. Papa dan mama yang menyayanginya, adik-adik yang lucu dan menggemaskan, juga pintar. Bahkan, Kinara iri terhadapnya. Kinara hidup jauh disana tanpa orang tuanya.
Tapi, nyatanya mungkin hidup Kiara lebih tersiksa. Ia tersakiti namun harus menutupinya dengan segala kebahagiaannya. Kinara memang iri, namun ia hidup sangat bahagia. Semuanya tercukupi.
"Papa pengen pulang. Papa nggak gila, Kiara. Papa sehat."
Kinara menggigit bibir bawahnya. Menahan air mata yang ingin keluar.
"Papa udah kasih tau polisi untuk menahan mama kamu. Dan, bilangin makasih ke pacar kamu. Dia banyak bantuin Papa."
Kinara dan Gilang sama-sama bingung.
Pacar?
Namun, Kinara segera tersadar.
"Iya, pa.. Aku akan coba bawa Papa pulang. Kalaupun Papa sakit, aku bakal berusaha ngejaga papa."
Gilang berbisik, "Lo yakin? Kiara gimana?"
"Gue bisa," bisik Kinara.
"Sekarang, kita kembali ke kamar papa, ya? Kita siap-siap buat papa pulang."
***
"Maaf. Kalian siapa?" tanya polisi saat Cathrin dan Regina sampai di depan rumah Kiara.
"Kita sepupu Kiara, Pak. Keponakan dari pemilik rumah ini," jawab Regina secara spontan membuat Cathrin menoleh tak percaya.
"Mau apa kalian kesini?"
"Di dalam ada adik sepupu saya,Pak. Dia nangis ketakutan. Kasian. Kalo bapak nggak ngizinin kita buat stay disini, kita bakal bawa sepupu kita ke rumah kita berdua."
Ketiga polisi tersebut nampak saling bertukar pandangan, sebelum akhirnya polisi yang tadi berbicara dengan Regina angkat suara.
"Kalian boleh membawa sepupu kalian. Rumah ini akan kami geledah."
Regina dan Cathrin mengangguk.
"Terima kasih banyak, Pak. Kami masuk dulu. Bapak mau dibuatkan kopi?" tanya Regina.
Cathrin menggeplak lengan Regina. "Ishh.. Maaf, Pak."
Cathrin langsung menarik Regina ke dalam rumah saat mendapati tatapan tidak ramah dari ketiga polisi tersebut. Cathrin membuka pintunya.
"Keisha? Kayla?" panggil Cathrin dari ruang tamu.
Sekitar dua menit menunggu, akhirnya Keisha dan Kayla turun dari lantai dua dengan mata sembap dan wajah yang menyiratkan ketakutan.
"Kakak.." lirih mereka.
Cathrin langsung memeluk keduanya dan mengusap punggung mereka.
"Nggak apa-apa.. Masih ada kakak.. Kita keluar dari rumah ini sekarang, ya? Kita ke tempat kakak kalian."
Regina hanya diam menyaksikan itu semua. Keisha dan Kayla pun mengangguk.
Lalu, mereka ber-empat keluar dari rumah.
"Pak.. Makasih ya udah izinin kita bawa adik sepupu kita.. Kita nggak akan macem-macem. SIM punya, STNK ada. Terima kasih, Pak," ucap Regina yang hanya dibalas anggukan dari Pak Polisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rapuh [COMPLETE]
Teen FictionApa jadinya jika seseorang yang ceria ternyata memilik dua kepribadian? Akankah kalian sebagai temannya akan tetap menemaninya? Kiara terlahir berbeda, bukan secara fisik, tapi secara mental. Bukan secara otak tapi secara batin. Kalian yang mengena...