Part 9 - Stay

13.1K 752 11
                                    

Delapan buah kaleng kosong yang diletakkan berjarak satu persatu jatuh seiringan dengan bunyi tembakan yang berasal dari pistol yang berada ditangan seorang gadis. Gadis itu terus menembak hingga tembakan terakhinya menjatuhkan kaleng terakhir. Tembakannya tidak ada yang meleset dan itu merupakan sebuah kebanggaan bagi dirinya.

" Kau belajar dengan cepat. Tembakanmu tidak meleset sedikitpun, sayang." Ujar seorang pria yang sejak tadi memperhatikan latihan menembak gadis itu dibelakang.

" Benarkah?" Gadis itu tersenyum senang sambil melepaskan pelindung telinga yang ia kenakan.

" Benar, Tapi kau masih harus banyak belajar." Pria itu menepuk – nepuk kepala gadis yang tingginya hanya sebatas bahu sebelum membawa gadis itu kedalam pelukannya dan mengecup kening gadis itu hangat.

Mata Chilla mengerjap pelan saat terik sinar matahari yang menyelinap masuk mengenai wajahnya. Hari ini ia bermimpi lagi. Dengan malas, ia duduk diatas ranjang sambil mengusap matanya. Ingatannya tentang kejadian semalam kembali menghantamnya dan tanpa sadar ia menitikkan air matanya. Semalam ia sudah menangis cukup lama hingga tanpa sadar ia tertidur didalam pelukan pria penyelamatnya.

'Dimana ini?' Chilla bergumam saat menyadari ia berada dikamar bercat hitam dan bercorak keemasan disekeliling kamar.

Ia turun dari ranjang dan berjalan perlahan sambil menyentuh satu persatu perabotan yang tertata rapi diruangan dengan segenap rasa penasarannya. Semua yang berada dikamar itu terasa sangat asing untuknya. Ia memegang knop pintu kamar dan membuka pintu itu yang ia tebak merupakan pintu keluar. Tebakannya tidak sepenuhnya benar. Pintu itu terhubung dengan sebuah ruangan kerja lengkap dengan sofa mini di tengah ruangan tersajikan didepannya.

Ruangan itu begitu sepi dan sudah pasti ini bukan rumah kemarin karena tempat ini lebih besar dan mewah. Chilla mendekati jendela yang berada dibelakang kursi kerja dan melihat keluar. Hanya ada hijaunya pepohonan di hutan yang dapat ia lihat.

" Ini dimana?" Tanya Chilla pada dirinya sendiri.

" Kau berada dirumah, Chilla." Ujar seseorang dari belakang yang membuat Chilla mundur dari jendela dan membentur tubuh seseorang.

" Selamat datang dirumah, Chilla." Ujar Dalton datar melihat Chilla yang terkejut dengan kehadirannya.

" Rumah?" Chilla mengulangi kata rumah yang menurutnya sangat aneh.

" Ya. Mulai hari ini, tempat ini akan menjadi rumahmu karena kau akan tinggal disini bersamaku." Jelas Dalton yang meraih tangan Chilla.

" Apa?" Chilla masih mencerna ucapan Dalton yang terdengar seperti gurauan dipagi hari. Ia mengikuti Dalton yang menuntunnya kembali ke kamar dan berhenti disebuah pintu coklat.

" Kau akan tinggal disini bersamaku." Karena akan lebih aman bila aku yang menjagamu sendiri. Dalton mengulangi ucapannya namun tidak dengan kalimat terakhirnya yang ia lanjutkan didalam hati.

" Sebaiknya kau mandi. Para pelayan akan menyiapkan pakaianmu dan setelah itu kita akan sarapan bersama" Dalton membuka pintu berwarna coklat yang merupakan kamar mandi dan mendorong pelan tubuh Chilla kedalam.

" Tunggu!" Dalton sudah akan meninggalkan Chilla lagi saat tarikan pada mantel yang ia gunakan dan seruan Chilla membuatnya kembali membalikkan badan menghadap gadis itu.

" Si.. Siapa.. namamu?" Chilla bertanya dengan gugup saat bertatapan mata dengan Dalton.

' Benar. Ia tidak mungkin mengingat namaku setelah kejadian itu.' Batin Dalton yang terdiam cukup lama dengan tatapan intens yang tertuju pada Chilla membuat gadis itu menunduk menyembunyikan pipinya yang merona.

" Mr... ?" Ujaran ragu – ragu Chilla berhasil memutuskan lamunan Dalton.

" Dalton.. Panggil saja Dalton." Cetus Dalton sebelum menutup pintu kamar mandi tanda percakapan mereka berakhir disana.

~

Chilla telah selesai membersihkan diri dan mengenakan dress merah jambu bertali spagetty yang disediakan pelayan diatas tempat tidur. Ia melangkah dengan kebingungan setelah berhasil keluar dari kamar tadi. Ia merasa lorong yang ia lewati tidak ada habisnya dan itu membuatnya kebingungan dimana letak tangga untuk kelantai bawah.

" Butuh bantuanku, Kakak ipar?" Ujar seseorang dengan nada berat membuat Chilla terperanjat.

" Kamu siapa? Dan siapa kakak iparmu?" Chilla membalikkan badannya cepat dan memasang wajah was - was.

" Hahh.. Astaga, Kau masih saja bersikap defensive terhadapku." Janiero mendesah kesal.

" Memangnya disini ada siapa lagi selain kamu, Chilla." Celos Janiero mengamati Chilla dari atas hingga bawah. Semalam saat menjemput Dalton, Janiero tidak dapat melihat gadis itu dengan benar karena gadis itu tengah terlelap didalam pelukan Dalton.

" Kamu tahu namaku dari mana? Apa aku mengenalmu?" Chilla menyilangkan tangannya didepan dada dan melotot saat ditatapi dengan kurang ajar oleh pria asing didepannya.

" tentu saja aku mengenalmu bahkan sangat mengenalmu." Ujar Janiero yang entah sejak kapan berada dihadapan Chilla dan menghembuskan napasnya di tengkuk leher gadis itu.

PLAKK

Sebuah tamparan mendarat dipipi kiri Janiero. Janiero terkekeh mengusap pipinya yang tercetak bekas tamparan dari Chilla.

" Meskipun ingatanmu hilang, kau tetap sangat galak ya.. Hahaha.." Entah apa yang ditertawakan Janiero, Chilla berusaha untuk mengabaikannya dan melangkah pergi.

" Ayo. Biar ku tunjukkan jalan ke ruang makan." Janiero menyusul langkah Chilla sedangkan Chilla memilih untuk tidak menjawab tapi tetap mengikuti langkah Janiero.

~

Sebuah ponsel yang diletakkan diatas meja terus bergetar tanpa henti. Dalton melihat nomor panggilan yang sama yang terus – terusan menghubunginya. Ia menimbang – nimbang apakah sebaiknya ia angkat atau tidak dan ia memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut.

" Dia menelpon lagi?" Tanya Enrico yang sejak tadi duduk dihadapan Dalton dan juga memperhatikan ponsel itu. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban sebenarnya karena Enrico tahu persis panggilan itu dari siapa.

" Aku ingin kau melakukan sesuatu." Tutur Dalton lalu mematikan ponselnya dan memutar ponsel tersebut diatas meja.

" Katakan."

" An eye for an eye. But for me, two eyes for an eye." Ujar Dalton sebelum mendongak menatap Enrico dengan seringaian berbahaya.

" Jeofree Luciano sudah berani menghancurkan salah satu asetku karena itu aku ingin kau ledakkan mansion Luciano, Jeofree Luciano beserta isi didalamnya." Seringaian Dalton semakin lebar memikirkan ide gilanya dan seringaian itu menular pada Enrico.

" Akan saya laksanakan, Boss." Enrico berdiri lalu meninggalkan tempat itu dengan mengemban sebuah misi untuk menghabisi Luciano.

Ditempat lain, Seorang gadis duduk diatas permadani mengabaikan panasnya cahaya matahari yang menyelinap masuk dari gorden rumbai – rumbai yang menusuk kulitnya. Ponsel yang ada pada genggamannya yang terlalu kuat membuat tangannya memutih seakan tidak memiliki darah. Panggilan yang ia lakukan sedari tadi tidak kunjung diangkat membuat ia merasa marah.

" Daddy, kenapa ia tidak pernah mengangkat telepon dariku?" Gadis itu menolehkan kepalanya kebelakang menuntut penjelasan dari ayahnya yang duduk di Sofa dan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

" Lucy.." White snake mendekati anak perempuan nya dan mengelus lembut kepala Lucy.

" Aku tidak butuh pandangan seperti itu, Daddy."

" Yang aku inginkan adalah, Dallie. Aku ingin Dallie ada disini, bersama ku."

" Iya, Sayang. Daddy akan menemukannya untukmu."

Tbc

His Lover (Mafia Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang