Drtt drtt drtt
Drtt drtt drtt
Suara getaran ponsel yang diletakkan disamping nakas ranjang mengusik ketentraman sepasang kekasih yang tengah terlelap. Getaran ponsel yang tidak kunjung berhenti membuat kelopak mata Dalton mengerjap sedangkan Chilla yang berada di dalam rengkuhannya bergerak mengubah posisi tubuhnya, terganggu dengan suara getaran itu.
Getaran ponsel itu akhirnya berhenti, Dalton mengira orang tersebut sudah menyerah menghubunginya namun tidak berselang beberapa lama suara ketukan pintu kamar yang menganggu tidur mereka. Kali ini Dalton dan Chilla benar - benar terganggu hingga terpaksa membuka mata.
Chilla mengusap matanya seraya memperhatikan Dalton yang telah berdiri memakai celana pendek dan kaos oblong sambil membuka pintu kamar. Dalton mengerutkan keningnya, melihat Enrico yang telah berpakaian rapi berdiri di depan kamar bersama dua orang bawahan lainnya. Dalton menutup sedikit pintu kamar nya agar pria - pria itu tidak dapat melihat Chilla yang berada di dalam kamar dan dengan keadaan tanpa sehelai benang dibalik selimut.
" Ada masalah yang terjadi."
Satu kalimat itu saja berhasil mengembalikan Dalton menjadi sosok mafia menyeramkan, bukan lagi seorang pria yang baru bangun tidur seperti kaos oblong dan celana pendek yang dikenakan oleh Dalton.
" Katakan." Dalton menatap tajam pada dua orang yang sejak tadi berdiri di belakang Enrico.
" Markas persenjataan kita kembali di serang oleh orang tidak dikenal pagi tadi. Kali ini di markas bagian barat" Enrico membantu kedua orang itu menjelaskan masalah yang dimaksud.
" Brengsek! Lalu apa kalian sudah tahu siapa orang - orang itu?" Tanya Dalton pada dua orang penjaga yang sejak tadi belum berbicara.
" Untuk saat ini kami masih mencari tahu, Capo." Jawab salah satu penjaga itu.
" Tidak mungkin mereka mengetahuinya letak markas yang aku sembunyikan sedemikian rupa itu dengan mudah. Pasti orang tersebut telah lama mengenalku." Ujar Dalton yang mulai berpikir kalau musuhnya kali ini kembali ada di dalam keluarga.
" Menurut pengamatan kami, selain pandai menggunakan senjata api, orang - orang dengan wajah tertutup itu juga ahli dalam menggunakan pisau." penjaga lainnya membuka mulut, memberitahu informasi yang mungkin bermanfaat untuk Tuannya.
"Apa tidak ada informasi yang lebih berguna daripada itu?" Tanya Dalton yang tampak tidak puas.
" Maafkan kami, Capo." Mendengar permintaan maaf itu membuat Dalton mendengus kasar.
" Ketua penjaga juga menyampaikan maafnya pada Capo karena tidak dapat menjaga markas dengan baik." Lanjut penjaga itu.
Dalton mengeram, menahan gejolak amarah yang menguasai dirinya untuk membunuh orang karena ia tahu maksud dari perkataan maaf itu. " Aku akan pergi meninjau lokasinya. Kalian tunggulah di depan" Kata Dalton lalu masuk kembali ke dalam kamarnya.
" Apa aku boleh ikut?"
Chilla yang mendengar pembicaraan para lelaki di depan pintu tadi, bertanya pada Dalton. Chilla menelan ludahnya dengan gugup saat ia menatap mata Dalton yang berapi - api. Sepertinya ia salah mengajukan pertanyaan hingga di beri tatapan tajam seperti itu. Tapi bukan Chilla namanya jika ia mundur begitu saja. Chilla benar - benar penasaran sebesar apa efek dari serangan itu hingga ia ingin terjun langsung ke lokasi.
" Tidak Chilla. Kau pasti masih lelah dan butuh istirahat."
Kata Dalton yang melangkah keluar dari Walk in Closet setelah menyambar sebuah mantel berwarna coklat gelap, kemeja putih dan sepotong celana panjang.
" Tidak, aku tidak lelah." Seruan Chilla terlalu bersemangat sehingga Dalton yang sedang berpakaian mendelik padanya.
" Kau tidak akan suka dengan apa yang akan kau lihat nanti, Chilla." Tekan Dalton.
Dalton memegang kedua bahu Chilla, berusaha memberikan pengertian pada gadis itu, yang sebenarnya tidak terlalu berguna, melihat bagaimana kekeuhnya gadis itu ingin ikut bersama Dalton. Dalton menghembus napasnya kasar.
" Baiklah. Tapi kali ini saja." Dalton menyerah dan membiarkan Chilla ikut dengannya.
Chilla memberikan senyuman manis pada Dalton lalu secepat kilat gadis itu berlari ke dalam walk in closet, mencari pakaian untuk ia kenakan. Dalton menarik napas berat, Ia sangat yakin senyuman manis yang ia terima pasti akan lenyap setelah mereka tiba di tempat kejadian.
" Ayo, kita pergi." Ujar Chilla yang telah selesai berpakaian dan merapikan rambutnya, melangkah duluan sambil menarik tangan Dalton agar mengikutinya.
~
Rintikan hujan yang turun dari atas langit membuat gundukan tanah yang masih baru itu basah dan lembab. Bau tanah tercium sangat pekat karena langit yang ikut menangis bersama dua orang gadis yang tengah berdiri di hadapan gundukan tanah itu. Gundukan tanah yang merupakan makam seorang Albert Santino itu dihadiri oleh banyak orang. Pria - pria berseragam hitam yang hampir semuanya adalah anak buah Dalton itu menunduk, memberikan penghormatan terakhir mereka pada Albert.
Dalton diam menatap Betty yang jatuh terduduk diatas tanah yang becek, sedangkan ia juga tengah menahan tubuh Chilla yang terlihat lebih rapuh dari biasanya agar tidak terjatuh dengan sebelah tangannya yang memegang payung. Ia sendiri sangat menyayangkan kehilangan seorang bawahan yang loyal padanya.
Sebagai seorang Capo, sebenarnya ia tidak perlu pergi ke makam bawahannya seperti yang ia lakukan saat ini. Tapi ia tetap menghadiri upacara pemakaman karena Chilla. Dugaan Dalton memang benar. Saat Chilla melihat betapa tragisnya akhir hidup dari seorang Albert, Chilla menangis histeris. Dalton dapat memaklumi Chilla dan Betty yang kini tengah menangis dihadapan makam Albert. Kedua gadis itu telah hidup bersama Albert setahun terakhir. Tentunya, banyak hal yang sudah mereka lewatkan bersama.
" Sudahlah, sayang. Biarkan Albert tenang disana." Dalton menenangkan Chilla dengan mengusap punggung gadis itu.
" Kita pulang ya." Kata Dalton.
Dalton menarik tubuh Chilla yang masih terlihat enggan untuk meninggalkan pemakaman. Ia mengangguk pada anak buahnya, meminta mereka untuk menjaga Betty dengan bahasa isyarat. Dalton memapah Chilla dan mendudukkan gadis itu ke dalam mobil lalu ia masuk ke dalam mobil melalui pintu lain di belakang, membiarkan supir yang membawa mereka pulang ke mansion.
" Istirahatlah."
Dalton melepaskan mantel hitamnya dan menjadikan mantel itu sebagai selimut untuk Chilla. Dalton menyandarkan kepala Chilla pada bahunya, sesekali ia mengecup puncak kepala Chilla. Genggaman tangan Dalton seakan menyalurkan kekuatan dan kehangatan pada Chilla yang terlihat rapuh dan menggigil kedinginan.
" Nyalakan penghangatnya." Perintah Dalton pada supir di balik kemudi.
" Baik, Capo." Supir itu menyalakan penghangat sesuai dengan permintaan Dalton.
" Terimakasih.. karena tetap berada disampingku." Chilla berujar dengan mata terpejam. Gadis itu langsung terlelap setelah mengucapkan kalimat itu.
'Sepertinya ia sangat kecapekan.' Batin Dalton yang menatap lekat pada Chilla yang telah terlelap.
Dalton mengusap tengkuknya, pikirannya kembali berkelana memikirkan siapa orang - orang yang mungkin mengkhianatinya. Sekilas pikiran Dalton tertuju pada Lucy, apa mungkin gadis itu? Dalton bertanya pada dirinya sendiri tapi dengan cepat ia menggeleng, mengusir pikiran tidak masuk akal itu dari kepalanya. Lucy tidak mungkin melakukan hal gila dengan rencana yang tersusun begitu rapi dan sempurna.
Dengan kondisi kehilangan ingatan dan jiwa kekanak - kanakan yang bersemayam di tubuh gadis itu, membuat Dalton ragu apakah gadis itu bisa melakukan hal lebih selain memainkan boneka - boneka pemberiannya. Lagipula Dalton telah menempatkan seorang mata - mata di tempat Lucy, dan selama ini belum ada laporan yang mencurigakan.
" Siapapun kamu dan apapun tujuanmu, aku tidak akan membiarkanmu hidup dengan tenang." Gumam Dalton yang berjanji pada dirinya sendiri.
Tbc
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian.
With love,
VL
KAMU SEDANG MEMBACA
His Lover (Mafia Series)
Romance(18+) Mata itu.. Selalu membius dan menghanyutkan setiap aku menatap kedalamnya. Mata itu.. Selalu memperlihatkan sorot kerinduan yang tidak ku pahami. - Achilla Camile Peterson Private secara acak !! Silahkan difollow terlebih dahulu untuk kenyaman...