Aku menunduk setelah sadar bahwa aku baru saja melakukan hal terlarang. Aku baru saja bertatapan dengan dia yang bukan mahramku.
"Risya?" Panggilan Umi, berhasil mengembalikanku dari dunia lamunanku.
"Eh iya, maaf, Umi, Risya melamun ya?" jawabku polos.
"Kata Kak Zi, em, anu, itu, em,--
"Calon suami kamu sudah datang. Itu yang mau kamu bilang kan, Sayang?" Aku hanya mengangguk, menanggapi ucapan Umi barusan.
Aku mendengar semua yang ada di sini terkekeh, mungkin mereka dapat melihat ada semburat merah di pipiku saat ini. Ya, aku pun merasa pipiku memanas.
Aku hanya bisa menunduk, bingung dan merasa enggan mengiyakan apa yang hatiku katakan saat ini, aku tidak percaya jika yang dimaksud kak Zi, adalah dia. Dia yang pernah bertemu denganku di rumah sakit, dia yang pernah membuatku naik pitam karena kesal, juga dia yang pernah menyelamatkanku. Ya, dia pernah membantuku. Dan dia yang dulu membuatku tak terarah di atas rasa bimbang antara melepaskan rasa atau mempertahankan rasa dalam diam.
Saat aku serasa sudah hampir kehabisan nafas akibat sesak karena rasa dingin yang menembus sampai ke tulangku, aku tiba-tiba melihat ada mobil berhenti di depan halte tempatku berteduh, dan tanpa permisi langsung mengangkat tubuh dan membawaku ke dalam mobil CRV putih miliknya, kemudian melajukan mobilnya ke rumah sakit.
Awalnya aku tidak tahu dia akan membawaku ke mana, aku baru mengetahui itu saat mobilnya berhenti, dia keluar dari mobil, membuka pintu persis yang berada di depanku, dan dia kembali mengangkat tubuhku tanpa permisi untuk yang kedua kalinya, lalu berjalan terburu-buru, "Suster, cepat bawa brankar ke sini," sentaknya kepada gerombolan suster yang dapat kulihat dari mataku yang masih sayup-sayup terbuka, dan saat itulah aku tahu bahwa saat ini aku ada di rumah sakit.
"Risya.." aku tersentak dengan ucapan Umi, bukan karena beliau membentak, tapi karena aku terlalu hanyut dalam pikiranku mengingat kejadian yang telah berlalu.
"Eh, iya, Mi. Maaf, Risya keganggu sama pikiran Risya," ucapku menatap Umi sarat akan permohonan maaf. "Iya sayang, gak papa kok. Sini duduk dekat Ummy," ucap Umi menepuk bagian kosong sofa tepat di sampingnya. Aku pun langsung bergabung dengan mereka--keluargaku dan keluarga dia-- dan duduk tepat di samping Umi.
"Bagaimana kalau langsung ke acara intinya saja, Bi, Mi," ucap dia memecah keheningan, membuatku menatap sekilas ke arahnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. "Iya nak Raffa, silakan, kami akan mendengarkan apa yang akan kamu sampaikan," ucap Abi tegas, tetapi tetap dengan kesan santai.
"Afwan, sebelumnya Raffa minta maaf karena sudah lancang menaruh hati pada putri, Abi dan Umi. Untuk itu Raffa tidak ingin memupuk dosa, jadi, Bismillah, Raffa mau mengkhitbah putri Abi Hermanto--Risya Ramadhani Zahra Hermanto--untuk menjadi pendamping Raffa, untuk menjadi makmum Raffa, yang bisa Raffa ajak berjuang untuk menggapai Ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga ke Jannah-Nya. Raffa tahu, awalnya Ayah dan Bunda ingin menjodohkan Raffa dengan Risya, tapi Raffa berfikir, buat apa perjodohan, toh memang Raffa sudah lama menaruh hati padanya--Risya Ramadhani Zahra Hermanto--, " hatiku bergemuruh mendengar ucapannya, ucapan yang terdengar sangat tulus dan lembut, tetapi masih dengan suara khas laki-laki yang tersirat ketegasan pada setiap penuturan katanya.
Aku dapat melihat Abi dan Umi tersenyum, tak terlepas senyuman merekah dari bibir om Rinra dan tante Maysarah. Mereka terlihat sangat bahagia, iya, mereka sangat bahagia. Aku juga merasa, ada rasa bahagia yang membuncah di hatiku saat ini. Entah karena lamaran darinya, atau karena melihat kebahagiaan Abi dan Umi, juga kak Zi.
Ummy menggenggam tanganku lembut, tanpa melepaskan senyuman beliau yang membuat tenang, "Risya, Abi dan Umi menyerahkan segala keputusan padamu, Nak. Kami tahu, kamu yang akan menjalani untuk kedepannya, jadi berikan jawaban sesuai apa yang hati kamu katakan," Umi berucap dengan menatapku dalam, berbicara dengan aksen hangat seperti biasanya.
"Mi, Bi, Risya tahu, kalian sangat ingin dan sangat mengharapkan Risya menyelesaikan program studi Risya, sebelum Risya melangkah ke jenjang pernikahan. Ya, walaupun beberapa waktu lalu, Abi sempat bilang kalau umur Risya sudah cukup matang untuk berkeluarga, dan jujur saat itu, Risya kaget dengan ucapan Abi, tapi Risya yakin, Abi selalu tahu yang terbaik buat Risya," ucapku jujur. Ya, aku mengatakan apa yang memang ada dalam hati dan pikiranku saat ini.
"Kami tahu, Sayang. Kami memang awalnya lebih mendukung jika kamu fokus ke perkuliahanmu terlebih dulu, sampai kemudian kami berniat menjodohkanmu dengan nak Raffa. Tapi terlepas dari niat itu, kami tetap menyerahkan keputusan akhir padamu, Nak. Kami juga tahu bahwa selama ini kamu memang menginginkan yang namanya nikah muda. Jadi, jawab sesuai hati nuranimu, Sayang," senyum Umi, benar-benar menjadi pusat ketenanganku setelah ketenangan dari Sang Khalik, Allah Subhanahu Wata'ala.
Dengan berbekal bismillah, aku menganggukkan kepala, lalu tersenyum ke arah Umi, menatap sekilah ke arahnya, kemudian menghambur memeluk Umi, bergantian, lalu memeluk Abi.
'Alhamdulillah, Risya bahagia, sangat bahagia.' hatiku mengucap syukur.
*****
Re-update! Versi revisi beberapa bagian.
Jangan lupa tekan bintang dan beri komentar :*Follow ig:
@nelaarosa / @nelaa.rosaSalam Cinta,
Nela Rosa
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Rasa (END)✔️
SpiritualUpdate tiap senin, rabu, jumat, sabtu! Baca yuk! Kali aja bisa jadi temanmu mengarungi kisah cinta yang abu-abu, sebab belum pahamnya dirimu dengan cinta atas dasar cintamu pada-Nya, Sang Pemilik Cinta. Bukankah romantis jika rasa itu dinamai Cinta...