Kita sedang tahap pendekatan lebih dekat pada-Nya, Sang Penentu segala keputusan. Memperbaiki diri dengan prioritas ketaatan, untuk kelak kembali bersua lewat indahnya ketetapan Tuhan.
🌿🌿🌿
Aku ada kelas siang, dan Abi tak mengizinkanku membawa mobil dengan dalih takut aku tidak fokus. Alhasil, sekarang aku ada di mobil yang sama dengan Dave. Dia yang mengantarku. Seperti yang sudah direncanakan saja, Dave tiba-tiba muncul saat aku tengah meminta pada Abi untuk mengemudikan mobilku, dan putus Abi akhirnya, aku berangkat dengan Dave yang akan menemaniku.
Sampai di area parkiran kampus, aku menghela nafas lega. Akhirnya aku akan bisa menghirup udara segar tanpa Dave beberapa jam ke depan, meski hanya kisaran berapa jam, tapi aku tetap bersyukur. Setidaknya tidak ada yang menggangguku untuk leluasa memikirkan Raffa dan segala kemungkinan yang terjadi padanya, yang saat ini keberadaannya pun tak kuketahui.
"Makasih, Dave." aku tersenyum menatap ke arahnya.
Dave pun balas tersenyum. Tulus. Dia tersenyum tulus, dan siapapun yang melihat pasti tak akan bisa menebak bahwa Dave tengah mengidap penyakit. Lihat, aku kembali mengingat kenyataan itu, kenyataan yang mengharuskanku tidak bersikap aneh pada Dave.
"Hati-hati pulangnya." aku yang sudah berdiri di samping mobil Dave sedikit membungkuk untuk melihat ke dalam mobil--salahkan Dave yang membawa mobil sportnya. Melambai ke arah Dave.
"Nanti pulang kabarin aku, Sya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah mengucap salam Dave tak langsung menaikkan kaca mobil, aku yang menunggu hingga dia pergi baru akan ke kelas pun kembali sedikit membungkuk. "Kenapa belum pergi?"
"Tunggu kamu ke kelas dulu, baru aku pergi," ucapnya santai.
"Aku malah nunggu kamu pergi dulu, baru akan ke kelas. Pergi, gih!"
"Ngusir ya, Mbak?" aku mendelik kesal, membuat Dave meringis.
"Maaf, maaf. Iya. Aku balik. Belajar yang baik, Sya, jangan mikirin cowok selain aku."
Apa Dave bisa membaca pikiranku saat ini?
Aku mengangguk, melambai untuk kali keduanya, dan mundur beberapa langkah untuk memberi jalan mobil Dave meninggalkan area parkir.
Langsung saja aku bergegas menuju kelas saat mobil Dave sudah hilang dari pandangan, namun Nindi mengagetkanku dengan menepuk pundakku dari belakang.
"Nindi, Ya Allah, ngagetin aja kamu," ucapku yang hanya ditanggapi dengan tawa kecil oleh sahabatku ini.
"Dianterin siapa tadi?" tanya Nindi membuatku merasa tak enak.
Aku masih sibuk berpikir untuk menjawab, tapi Nindi kembali bersuara. "Cowok yang kemarin kata Bunda khitbah kamu, ya?" dengan tak enak hati, aku mengangguk.
Nindi tak memberiku kesempatan untuk bersuara.
"Kamu sudah melupakan kak Raffa, Sya?"
Pertanyaan yang sudah pasti, jika ada yang menanyakan maka akan kuanggap konyol orang itu.
"Seberapa lama pun dia pergi, dia menghilang, dan tak kunjung memberi kabar. Percayalah. Aku menantinya, dan akan selalu begitu hingga dia kembali, Nin. Mungkin Allah memberi jarak pada kami untuk kembali sadar, bahwa ini adalah saat untuk kami masing-masing mendekat lebih dekat pada Allah. Doa. Itulah pengikat. Aku begitu yakin, bahwa jarak memisahkan, tapi doa tetap dilangitkan untuk kembali menjemput pertemuan. Satu hari, ada saat di mana kami akan kembali dipertemukan, dengan rasa yang masih suci sebab penjagaan dan pendekatan pada-Nya, Sang Pemilik Cinta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Rasa (END)✔️
Tâm linhUpdate tiap senin, rabu, jumat, sabtu! Baca yuk! Kali aja bisa jadi temanmu mengarungi kisah cinta yang abu-abu, sebab belum pahamnya dirimu dengan cinta atas dasar cintamu pada-Nya, Sang Pemilik Cinta. Bukankah romantis jika rasa itu dinamai Cinta...