Asa. Ada keinginan untuk berjalan ke arahnya, mewujudkannya dengan bahagia. Meski berpeluang menjadi putus asa, tetap saja tiap usaha harus dibarengi ketulusan rasa.
🌿🌿🌿
Kepalaku pening sepulang dari bertemu rekan kerjaku. Bukan karena pekerjaan, tapi kepalaku terasa berat, saat memikirkan bagaimana hidupku setelah sepekan kesepakatan dengan Risya berakhir? Ini tidak bisa terjadi. Risya tidak bisa lepas, sebelum rencana yang telah kususun dengan apik terlaksana dengan baik.
Banyak sekali kemungkinan yang bisa terjadi setelah sepekan itu tiba. Risya meninggalkanku dan menerima laki-laki yang akan melamarnya kemudian. Risya melanjutkan studi ke luar negeri, sesuai rencananya sebelum dulu terikat lamaran Raffa. Dan banyak lagi kemungkinan lain.
Risya. Dia gadis yang tangguh, baik, salihah, berbakti pada orang tua dan teguh pada pendirian. Dia sudah begitu tertaut pada laki-laki bernama Raffa. Bisa kutebak, dalam sehari sangat jarang ada detik yang terlewatkan untuk sekadar teringat pada Raffa.
Raffa pergi tanpa aba-aba dari hidup Risya. Dia meninggalkan gadis itu tanpa permisi, tanpa izin, bahkan yang miris kedengarannya, adalah Risya yang ditinggal Raffa dihari-hari menjelang pernikahannya dengan laki-laki itu. Entah apa, yang menjadi alasan Raffa.
Aku, Dave. Dengan bodohnya menerima permintaan Papa untuk mengkhitbah Risya, hanya dengan dalih bahwa Risya butuh penopang. Tapi yang terlihat tidak demikian, Risya justru terlihat baik. Sangat baik malah. Jika dilihat tapi, untuk hatinya entah. Gadis itu tetap meneguhkan hatinya, memendam kecewa teramat dalam, menyimpan rasa untuk laki-laki yang entah akan memberinya kepastian, atau akan berujung keikhlasan melepaskan. Aku hanya berharap kebahagiaan menyertai kehidupan Risya.
"Dave?" sapa Papa, baru saja masuk ke dalam kamarku.
"Iya, Pa," sahutku.
"Bagaimana hari ini?" tanya beliau.
"Alhamdulillah baik. Tadi Dave nganterin Risya ke kampus, jemput juga, Dave yang menjemputnya," ucapku.
Papa kembali bertanya, "Syukurlah. Bagaimana pekerjaanmu, Nak?"
"Lancar, Pa." aku yang tahu kalau hari ini Mama sudah balik dari luar kota, bertanya pada Papa. "Mama di mana, Pa? Dave belum melihatnya ada di rumah."
"Mamamu ada di kamar, dia merasa tidak enak badan. Jadi, Papa menyuruhnya istirahat."
Aku mengagguk paham.
Aku dan Papa, kami sedikit berbincang tentang perkembangan kantor. Lantas, Papa menyuruhku istirahat, katanya Papa pun akan kembali ke kamar untuk menemani Mama.
Mama. Dia perempuan hebat, perempuan yang telah membesarkanku dengan kasih sayang. Meski Mama sibuk dengan pekerjaannya, tak pernah terucap dari bibirnya keluh untuk sikapku yang kadang membuatnya kesusahan membagi waktu, antara aku dan pekerjaan. Mama, seorang desainer. Punya butik dengan cabang di berbagai kota di Indonesia. Mama sangat baik, meski kadang keras caranya bertutur, aku paham itu bawaan karena Mama asli suku Makassar. Kakek dan Nenek asli Makassar. Mama lahir dan besar di Makassar. Kakek dan Nenek, sekarang masih tinggal di sana. Mamaku memang tangguh. Dulu, setelah pengumuman kelulusan SMA, Mama mendapat surat dari salah satu Universitas ternama di kota ini, dan karena ingin menggapai cita-citanya, Mama menyanggupi untuk meninggalkan Makassar--yang dikenal dengan nama Kota Daeng, demi untuk cita-citanya.
Aku bersyukur bisa lahir dari rahim perempuan bersuku Makassar. Aku jadi banyak tahu budaya-budaya yang sangat jarang didapati di kota lain. Makassar itu kaya akan bahasa daerah, bukan hanya satu, tapi bahasa daerah di sana terpisah, berbeda khas tiap-tiap kabupaten, bahkan tiap kecamatan pun kadang berbeda logat. Penuturannya unik-unik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Rasa (END)✔️
DuchoweUpdate tiap senin, rabu, jumat, sabtu! Baca yuk! Kali aja bisa jadi temanmu mengarungi kisah cinta yang abu-abu, sebab belum pahamnya dirimu dengan cinta atas dasar cintamu pada-Nya, Sang Pemilik Cinta. Bukankah romantis jika rasa itu dinamai Cinta...