13. Titik Harap

2.2K 116 8
                                    

Memberi titik harap menuju bahagia seolah terbang ke langit ketujuh, lalu kemudian dilepas terbang bebas hingga akhirnya jatuh dan tersadar bahwa bahagia itu lepas sebelum benar-benar terengkuh.

"Kamu lebih baik masuk kuliah lagi aja dek," ucap kak Zi.

Saat ini kami tengah berada disalah satu pusat perbelanjaan mencari sesuatu yang bisa dijadikan hadiah untuk bayi salah satu teman kak Zidan yang baru saja istrinya lahiran.

"Sya?"

"Eh. Iya kak, Risya emang mau masuk kuliah kok, pekan depan tapi."

Kak Zidan mengangguk. "Adik Kakak memang bukan seperti banyak perempuan yang lemah," ucap kak Zi mengusap kepalaku.

Hanya kubalas dengan senyum, sebab bisaku hanya itu.

Untuk menjawab aku tidak bisa. Takutnya aku akan melontarkan kalimat dusta yang sangat tak ingin kulakukan.

Jadi apa ada alasan untuk kita berdusta? Tidak!

Keluargaku juga mengajarkan agar tidak berdusta kecuali untuk menyelamatkan nyawa seseorang.

Abi pernah bilang, "Jangan melontarkan kalimat berdusta Nak, sebab itu tidak ada faedahnya. Berkata baiklah atau diam. Bisanya berdusta itu hanya ada satu alasan, yaitu untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Kamu bisa baca hadisnya di buku catatanmu sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, Abi pernah memintamu menulis hadis tentang dusta." aku ingat betul perkataan Abi. Juga ingat hadis yang pernah ku tulis di bukuku.

Baru saja kak Zidan akan kembali angkat bicara tapi beruntunglah ponselku berdering.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam"

"Kamu di mana Sya?"

Aku melirik kak Zidan yang tampaknya ingin tahu dengan siapa aku berbicara di telepon.

"Lagi nemenin kak Zi jalan nih, Nin," ada jeda beberapa menit dan sahutan dari Nindita belum juga terdengar. "Oh ya, ada apa Nin? Ayah Bunda baik-baik aja kan?"

Bukan sahutan tapi terdengar isak tangis. "Nin?"

"Aku matikan ya. Kamu kirim alamatmu saat ini lewat pesan. Assalamualaikum." putusku pada sambungan telepon.

"Nindi kak,"

Kak Zidan ber-oh ria, lalu bertanya, "Ada apa dengan Nindi?"

Aku mengedikkan bahu. "Entahlah. Dia menangis jadi aku memintanya mengirimkan alamat saja."

Tak berselang lama pesan dari Nindi sudah masuk.

"Temenin Risya yuk, kak"

"Kemana?"

"Ke rumah Bunda."

Ada raut tidak suka dari wajah kak Zidan.

"Untuk apa Risya? Bukannya tadi kamu bilang mau nyamperin Nindi?"

"Nindi ada di sana kak."

Lama hingga kak Zi paham dan mengangguk setuju.

Kami pun menuju ke rumah Bunda. Ke rumah kak Raffa.

Kaget bercampur rasa tak percaya. Jelas saja aku kagef saat melihat keadaan Bunda yang bersimbah darah, dan bukan main ini benar-benar di luar nalarku bahwa Bunda baru saja ingin mengakhiri hidupnya namun gagal karena Nindi datang. Pisau yang digunakan Bunda terletak tak jauh dari tangan Bunda.

Herannya kenapa Nindi tidak membawa Bundanya ke rumah sakit dan malah menatap menangisi?

"Kak Zidan ayo kita bawa Bunda ke rumah sakit,"

Kak Zi yang hendak mengangkat Bunda urung karena gelengan kuat Nindi. "Jangan. Jangan di bawa ke rumah sakit."

"Diamkan pikiranmu Nin. Apa kamu mau melihat Bunda kehabisan darah dan nyawanya akan ikut melayang?"

"Ayo kak Zi cepat!"

Kak Zidan pun membopong Bunda ke mobil sedang aku memapah Nindi yang terlihat kesusahan bangkit karena lemas.

"Tenangkan pikiranmu, Bunda akan baik-baik saja. Jangan kalut hanya karena hal seperti ini. Banyakin istigfar."

Kami sampai di rumah sakit 30 menit kemudian karena jalanan macet parah.

"Bagaimana keadaan Ibu saya Dok?"

"Ibu anda sudah ditangani, beruntunglah anda tidak terlambat membawanya kemari. Ibu anda mengalami stres yang membuatnya mengambil tindakan tak terduga. Mohon untuk tidak memberi kabar kurang baik karena itu berpengaruh untuk kesembuhannya. Permisi."

"Iya Dok, terima kasih."

Aku langsung menghampiri Nindi, berusaha menenangkannya. Aku tidak langsung menyampaikan apa yang dokter katakan karena aku takut Nindi tambah terpukul.

Ayah baru ku beritahu tadi lewat telepon setelah Bunda masuk ke ruang pemeriksaan, dan beliau sudah dalam perjalanan pulang.

"Kakak mau pulang Sya. Kamu gimana?" Tanya kak Zi yang sudah beranjak dari tempat duduknya.

"Aku di sini aja kak, nanti aku telepon Abi buat izin nggak pulang dulu. Kasian Nindi sendiri, Ayah masih di jalan."

Kak Zi mengangguk. "Enggak usah telepon Abi, nanti Kakak yang bilangin."

"Ya udah kak, hati-hati. Salam sama Kak Friska,"

"Iya. Kamu baik-baik ya, Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam."

Meski kak Raffa menghilang setelah membawaku terbang membayangkan hari yang sudah dinantikan, dan kemudian melepasku terbang sendiri hingga terhempas, aku tetap harus berbuat baik kepada keluarganya.

Aku sudah menyayangi keluarganya layaknya keluargaku sendiri. Dengan atau tanpa adanya hari bahagia di antara kami, aku akan tetap menyayangi keluarganya dan aku akan tetap menganggap keluarganya seperti keluarga sendiri.

Tapi aku yakin ada hari di mana Allah menunjukkan kuasa-Nya bahwa apa yang telah digariskan-Nya tidak dapat berubah meski jarak itu ada di antara kami saat ini.

Satu hari nanti ada hari bahagia untuk kami; aku dan dia. Iya, One Day, aku yakin.

Setulus Rasa (END)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang