Tatkala dunia sudah ada dalam genggaman, jangan lagi terdapat alasan untuk akhirat digadaikan karena terlena kefanaan.
****
Malam ini, Risya beserta Umi, Abi dan Kakaknya akan makan malam di luar. Sesuai dengan ucapan Abi saat sarapan, mereka sekeluarga akan makan malam dengan keluarga sahabat Abi. Meski begitu. Risya masih betah di depan laptopnya dengan jari-jemarinya menari di atas keyboard. Gadis itu ingin menyelesaikan tulisannya dalam waktu dekat.
“Risya... Kamu sudah selesai, Sayang?” tanya Umi dengan kepala menyembul dari balik pintu.
“Risya selesaikan dulu bab yang ini, Mi. Tinggal dikit kok,” sahut Risya.
Umi menghampiri masuk ke kamarnya, kemudian berdiri di samping putrinya sembari mengelus puncak kepala putrinya.
“Nanti besok kamu lanjutkan lagi, ya Nak. Sahabat Abi sudah di jalan menuju restoran, Sayang. Nggak enak kalau mereka kelamaan nunggu.”
Risya mengangguk dan tersenyum pada Uminya.
“Kalau gitu Risya siap-siap dulu, Mi. Umi dan yang lain tunggu di bawah saja. Risya sebentar kok, paling beberapa menit.”
Sebelum meninggalkan kamar Risya, Umi berpesan, “Kamu pakai baju yang kemarin Umi beliin ya, Sayang.”
“Iya, Umi.”
Dengan cekatan Risya bersiap-siap. Benar apa yang tadi dirinya katakan, hanya beberapa menit bersiap. Buktinya, sekarang dia sudah siap.
🌿🌿🌿
Awalnya makan malam berjalan lancar dan tenang-tenang saja, tapi lama-kelamaan seperti Risya mulai tidak suka. Telinganya menangkap pembicaraan yang sangat amat membuat moodnya kurang baik.
Tentu saja dia tidak senang mendengarnya. Toh, yang dibahas adalah tentang pemutusan secara resmi lamaran dari keluarga Raffa. Iya, keluarganya makan malam dengan keluarga sahabat Abinya, keluarga Rinra tepatnya.
Meski tidak begitu senang namun Risya juga sekaligus heran, mengapa dirinya tidak merasakan kehilangan. Apa benar dia sudah begitu jatuh pada sosok lain, yang melamarnya bulan lalu. Dia teringat Dave, lagi? Menyadari itu Risya menoyor sendiri kepalanya.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Uminya heran.
Bukannya hanya Uminya, jika dilihat semua yang ada di meja ini tengah menatapnya. Membuat Risya memamerkan sederet giginya yang putih bersih. “Eh?”
“Duduk di sini tapi pikirannya merambat jauh ke sana.” ucapan Zidan barusan membuat Risya menyerngit keheranan. “Kamu mikiran Dave, ya?”
Risya meringis pelan seperti orang yang ketahuan berbuat kriminal, padahal kan pikirannya hanya tiba-tiba dilintasi nama Dave. Kenapa juga dia harus mengingat cowok jahat itu. Dasar bodoh!
“Enggak. Lagian buat apa juga Risya mikiran dia,” elak Risya.
Tapi sepertinya Zidan tidak memercayai adiknya kali ini. Buktinya dia masih menatap adiknya dengan meminta kejujuran. Risya yang ditatap lama-lama merasa tak enak hati karena telah membohongi kakaknya, mungkin juga dia sudah membohongi semua yang ada di meja ini dengan elakannya barusan.
“Bohong itu,”
Risya tahu betul apa yang akan kakaknya katakan, palingan kakaknya itu akan bilang 'bohong itu dosa', dan tanpa diberitahu juga Risya sudah tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Rasa (END)✔️
EspiritualUpdate tiap senin, rabu, jumat, sabtu! Baca yuk! Kali aja bisa jadi temanmu mengarungi kisah cinta yang abu-abu, sebab belum pahamnya dirimu dengan cinta atas dasar cintamu pada-Nya, Sang Pemilik Cinta. Bukankah romantis jika rasa itu dinamai Cinta...