Hampir sejam dia hanya diam, deru nafas dan suara hembusan angin saja yang terdengar.
Sampai akhirnya aku kembali bersuara, "Risya?"
"Ya."
"Kamu kenapa?"
"Tidak. Risya baik-baik saja, tidak ada yang bermasalah Alhamdulillah."
"Sudah ya kak bicaranya? Aku mau pulang, capek, pengen istirahat." lanjutnya yang membuat kadar yakinku bahwa dia sedang bermasalah semakin meningkat.
"Ya sudah, kita pulang." aku hanya bisa menghela nafas, aku benar-benar merasa kalut disaat-saat seperti ini.
"Kalau kamu sumber ketenanganku maka kamu pula sumber risauku. Bicaramu membuatku tenang tetapi diammu membuatku memikirkan segala kemungkinan yang kurang baik akan hubungan kita kedepannya." lanjutku pelan. Aku hanya ingin dia tahu hal itu.
"Maksud kakak?" dia kembali bersuara
"Tidak. Kamu cukup tahu itu. Aku memang belum milikmu dan belum memilikimu saat ini, tetapi separuh jiwaku ada padamu." ujarku sebelum beranjak dari kursi. Aku berbalik meninggalkannya.
"Maaf karena aku memberimu beban perihal rasa yang belum sepantasnya berlabuh. Perihal rasa yang tumbuh tanpa izin dan mungkin akan pergi tanpa permisi jika saja kamu tidak mengakhirinya dengan kepastian. Maaf dan terima kasih." ucapnya pelan namun masih bisa tertangkap oleh indra pendengaranku karena aku berjalan sangat pelan sehingga jarak kami masih terbilang dekat.
Dia beranjak setelahnya, terbukti dengan suara kursi yang beradu dengan pekikan lantai saat digerakkan.
Tidak ada perbincangan selama jalan pulang. Aku hanya menatap jalanan di depanku, dan dia fokus pada jejeran pohon di pinggir jalan yang diliatinya lewat jendela mobil. Aku tahu sebab sekali-kali aku melirik sekilas ke arahnya.
***
*****
"Assalamu'alaykum Umi" ujarnya seraya mencium punggung tangan Umi yang menyambutnya di depan pintu. Aku juga melakukan hal yang sama.
"Wa'alaykumussalam sayang. Sudah pulang ya, Umi kira kalian akan lama baliknya."
"Tidak Umi. Risya kurang enak badan jadi kami mutusin untuk cepat pulang." aku memberikan alasan yang logis. Bagaimana pun Risya saat ini benar-benar terlihat murung, diam tanpa bersuara setelah salam tadi.
Umi terlihat ingin menanyakan penyebab perubahan anak gadisnya, tetapi urung setelah yang kukatakan tadi.
"Ya sudah, kamu ke atas ya sayang. Istirahat gih." Umi berucap seraya mengelus pipi putrinya. Dia-Risya-, hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan kami.
"Ohiya, nak Raffa mau mampir dulu?"
"Jazakillahu khayr, tidak usah Umi. Raffa mau balik, banyak kerjaan yang belum kelar." tolakku halus agar kecurigaan Umi segera hilang.
"Kalau begitu Raffa pamit ya Mi, Assalamu'alaykum." lanjutku mencium punggung tangan Umi.
*****
Re-update! Versi revisi beberapa bagian.
Jangan lupa tekan bintang dan beri komentar :*Follow ig:
@nelaarosa / @nelaa.rosaSalam Cinta,
Nela Rosa
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Rasa (END)✔️
SpiritualUpdate tiap senin, rabu, jumat, sabtu! Baca yuk! Kali aja bisa jadi temanmu mengarungi kisah cinta yang abu-abu, sebab belum pahamnya dirimu dengan cinta atas dasar cintamu pada-Nya, Sang Pemilik Cinta. Bukankah romantis jika rasa itu dinamai Cinta...