Tiga hari berlalu sejak saat terakhir kami bertemu, dan sampai saat ini dia seakan hilang dari hidupku.
Aku ingat saat Umi menyuruhku meminta maaf padanya, tetapi entah, kenapa aku sangat sulit melakukan hal tersebut. Banyak rasa yang berkecamuk di dalam pikiranku. Belum tentang dia, belum lagi tentang pendidikan, dan pernikahan yang semakin dekat.
Hari ini aku memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya. Aku ingin tahu apa yang membuatnya menghilang tiga hari belakangan ini.
Sebaiknya aku bilang ke Umi dulu sebelum berangkat.
"Umi, Risya mau ke rumah kak Raffa dulu, boleh?" tanyaku saat melihat Ummy duduk santai di teras.
"Boleh. Kamu sudah bilang ke nak Raffa?" ahiya, aku belum tanya kak Raffa apa dia ada di rumah.
"Belum Mi. Risya maunya kak Raffa nggak tahu. Eh, apa Risya nanya ke Bunda aja ya Mi?"
"Ide bagus. Coba kamu telepon Bunda May." aku mengangguk lalu mengambil ponsel dari dalam sling bag, kemudian mencari kontak atas nama Bunda May.
"Assalamu'alaykum"
"Wa'alaykumussalam Sya, tumben nelepon ke nomor Bunda, Nak. Ada apa?" sahut suara khas Ayahnya Raffa.
“Risya kira Bunda. Hehe. Ayah apa kabar?”
“Alhamdulillah baik, hanya saja Bunda sedikit drop jadi Raffa sibuk jagain Bundanya, Nak.”
Aku salah paham lagi.
“Kamu mau bicara dengan Raffa? Biar Ayah panggilkan.”
“Enggak usah Ayah. Cepat sembuh buat Bunda. Sehat-sehat buat Ayah dan semuanya ya, Assalamualaikum.”
Salah paham. Kenapa selalu aku yang salah paham? Apa aku begitu menuntutnya? Meski dia juga menurutku bersalah, tapi kupikir tidak ada salahnya aku yang meminta maaf.
“Kenapa, Sya?”
“Bunda demam makanya kak Raffa nggak ada kasi kabar ke Risya.”
Umi tersenyum simpul.
“Jangan salah paham lagi ya, Sayang. Kasian nak Raffa harus tambah pusing lagi. Belum tentang pekerjaan, belum yang lain-lain. Jadi kamu harus mengerti dan tahu cara menyikapi calon suamimu.”
Aku mengangguk. “Iya Mi. Nanti Risya bakal minta maaf,” Umi mengusap puncak kepalaku sayang.
*****
Malam menyapa dan belum juga aku mendapat kabar darinya. Abi dan Umi baru tiba dari menjenguk Bunda yang ternyata semakin drop. Bukan tanpa alasan aku tidak ikut, tapi tadi ada tugas kampus yang harus ku selesaikan.
Sibuknya mengetik tiba-tiba ponsel pintarku berdering. Bukan telepon tapi pesan singkat.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam Kak?”
“Apa kabar?”
Rasanya aku ingin melempar ponselku saja. Dia niat ngirim pesan nggak sih? Singkat banget!
“Alhamdulillah.”
“Aku ganggu ya?”
“Enggak.”
Lama tidak ada balasan hingga ponselku kembali berdering. Kali ini bukan pesan singkat, tapi telepon masuk darinya.
“Marah?”
“Enggak!”
“Terus apa?”
“Jangan kayak anak-anak deh, Sya,” lanjutnya membuatku ingin mengakhiri telepon.
“Risya minta maaf”
“Kamu enggak ada salah, kok, jadi nggak usah minta maaf.”
“Oh iya, aku cuma mau bilang kalau besok ada tugas ke luar kota dan ini sangat penting.”
Hening. Aku tak menjawab. Hatiku bergemuruh.
“Lamanya aku nggak tahu, tapi kuharap pekerjaan ini tidak akan mengganggu jadwal pernikahan kita,”
“Iya.”
“Iya doang?”
“Iya, nggak papa. Pergi aja. Hati-hati ya, jangan buat Ayah Bunda capek nunggu kabar. Kasihan mereka.”
“Ayah Bunda atau?”
“Enggak ada kata atau. Risya cuma enggak mau Ayah Bunda ngerasa kehilangan anaknya yang terlalu sibuk bekerja.”
“Risya lagi ngerjain tugas. Udah dulu. Salam sama Ayah Bunda. Assalamualaikum”
Sudah. Aku mematikan telepon tanpa menunggu jawaban darinya. Aku tidak ingin larut dalam percakapan tidak penting antar anak manusia yang bukan mahram.
Aku menarik nafas dalam-dalam berharap semoga semua berjalan lancar. Penuh harapku agar dia tidak lagi menghilang tiba-tiba seperti dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Rasa (END)✔️
EspiritualUpdate tiap senin, rabu, jumat, sabtu! Baca yuk! Kali aja bisa jadi temanmu mengarungi kisah cinta yang abu-abu, sebab belum pahamnya dirimu dengan cinta atas dasar cintamu pada-Nya, Sang Pemilik Cinta. Bukankah romantis jika rasa itu dinamai Cinta...